April17th, 2019 - Sinopsis ini terdiri dari 1 3 paragraf yang menjelaskan inti cerita film kita tanpa memberitahu ending dan secara detail dari isi filmnya Sinopsis ini juga berlaku untuk kamu yang membuat film pendek supaya film kamu banyak diminati orang lain untuk ditonton Berikut ini adalah tiga contoh sinopsis film pendek karya anak
Gambar hanya ilustrasi. - Lancang Kuning berlayar malam. Haluan menuju ke lautan dalam. Kalau nakhoda kuranglah paham. Alamat kapal akan tenggelam. Lancang kuning menentang badai. Tali kemudi berpilit tiga. Lirik tersebut sangat populer di Riau, khususnya masyarakat Melayu. Filosofi dari baitnya mengisahkan bagaimana pemimpin nakhoda mengarungi lautan agar kapal lancang yang digambarkan sebagai pemerintahan tak kini tak diketahui pencipta pantun itu. Namun, Lancang Kuning tetap abadi karena disematkan sebagai sebutan untuk Riau. Begitu mendengar kata Lancang Kuning orang tertuju ke daerah yang berada di timur Pulau Sumatra diketahui pasti sejak kapan Riau disebut sebagai negeri atau bumi Lancang Kuning. Tak disebut pula siapa orang pertama yang memberi gelar ke daerah yang dulunya ada kerajaan Melayu penguasa Selat Malaka budayawan Riau, Tenas Effendy, dalam sebuah tulisannya berjudul Lancang Kuning pernah menyinggung kenapa Riau diberi gelar dengan sebutan itu. Dia menyebut sebutan ini sebagai tanda kegemilangan Riau sebagai daerah. Menurut Tenas, Lancang berarti kapal besar yang biasa digunakan raja-raja mengarungi lautan. Kapal ini juga tanda komando armada perang di lautan yang dikendalikan laksamana ataupun Kuning sendiri merupakan warna kebesaran dalam tradisi Melayu. Kuning selalu ditemukan dalam berbagai upacara, pakaian, riasan dan baju kebesaran petinggi adat, meski dipadu dengan warna atau kapal sangat akrab dengan masyarakat rumpun Melayu. Dengan ragam kerajaannya, misalnya Lingga di Kepulauan Riau atau Siak serta Indragiri di Riau, rumpun Melayu membentang dari laut China hingga Selat ini disebut sebagai pemersatu antar pulau-pulau dalam bentangan rumpun Melayu. Lancang juga mempermudah raja berpindah ke suatu daerah yang menjadi demikian, Lancang Kuning menandakan Riau sebagai kerajaan Melayu sangat mengusai maritim. Di sisi lain, Lancang Kuning juga menggambarkan kejelian pemimpin dalam memerintah daerah. Makanya dalam pantun itu ada kalimat "berlayar malam, kalau nahkoda kuranglah paham, alamat kapal akan tenggelam".Berlayar pada malam hari tentu saja berbeda dengan siang. Nakhoda pada siang hari berpedoman pada matahari sehingga semua orang bisa melakukannya. Berbeda dengan malam karena nakhoda harus paham arah angin dan membaca semua orang bisa membaca bintang. Makanya diperlukan nakhoda lihai untuk membawa kapal besar dalam sebuah lautan yang luas atau pemimpin bijaksana menjalankan pemerintah. Dengan demikian, pemimpin yang paham tentang seluk beluk daerah menjadi syarat mutlak bagi sebuah kapal dalam berlayar pasti bertemu badai. Makanya ada kalimat "Lancang kuning menentang badai, tali kemudi berpilit tiga".Kalimat tersebut saling berkaitan. Di mana ada masalah, di situ pula ada cara seorang pemimpin menyelesaikan. Apakah dengan sesuka hati atau melibatkan unsur lain berpilit tiga.Dalam berbagai literatur, pilit tiga dalam Melayu terdiri dari tiga unsur, yaitu umara cerdik pandai atau bisa saja perdana menteri, tetua adat dan terakhir ulama atau orang paham agama. Karena Melayu sarat dengan nilai-nilai Islam, posisi ulama menempati posisi paling atas. Ketiga unsur itu menjadi syarat bagi raja dalam mengambil keputusan ketika menghadapi ketiga unsur ini kemudian menjadi konstitusi. Menjadi aturan bagi raja dalam menjalankan pemerintahan agar tidak melenceng dan berakibat merugikan dalam pantun yang kemudian digubah menjadi lagu itu, ditambahkan bait "selamatlah kapal menuju pantai, pelautlah pulang dengan gembira".Dendam dan Konflik Penguasa Dalam versi lain, Lancang Kuning juga menceritakan dendam dan konflik pribadi para penguasa. Konflik untuk berebut kekuasaan itu kemudian berdampak besar terhadap kehancuran sebuah pemerintahan dan Tenas yang juga penyusun buku Tunjuk Ajar Melayu ini, legenda Lancang Kuning mengisahkan kerajaan makmur di Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Kerajaan ini diperintah Raja Datuk Laksamana Perkasa memiliki dua panglima bernama Umar dan Hasan, serta Bomo. Nama terakhir merupakan sebutan untuk dukun atau ahli nujum berpengaruh di kerajaan untuk menjaga keselamatan orang-orang besar di suatu ketika, Umar dan Hasan sama-sama tertarik kepada satu perempuan bernama Zubaidah. Hanya saja Umar lebih beruntung dan akhirnya mempersunting gadis yang juga diinginkan lalu berniat merebut Zubaidah dari tangan Umar. Dia mempengaruhi Bomo untuk menyingkirkan Umar. Dengan bujuk rayu Umar, Bomo lalu diminta menyampaikan pesan kepada raja tentang mimpi yang meminta Umar membuat kapal pemberantas bajak Saban hari Umar membuat kapal yang diberi nama Lancang Kuning. Ketika kapal selesai, Hasan dan Bomo membuat kabar bohong yang menyebut Bathin Sanggono melarang nelayan Bukit Batu mencari ikan di Tanjung berangkat menemui Bathin Sanggono dan menanyakan kabar itu. Bathin Sanggono membantah kabar itu sehingga Umar sadar bahwa dirinya dibohongi oleh Hasan dan Umar ini dimanfaatkan Hasan merayu Zubaidah yang tengah hamil tua agar menjadi istrinya tapi ditolak. Siasat baru dibuat Hasan dan Bomo, persisnya ketika kapal buatan Umar akan diluncurkan ke laut pada malam bulan itu dibuat seolah-olah tidak bisa digerakkan meski didorong oleh banyak orang. Bomo menyarankan kepada raja agar mengorbankan seorang perempuan yang sedang hamil meminta peluncuran Lancang Kuning ditunda, tapi Hasan tetap ingin berbuat licik agar siasatnya berjalan. Hasan lalu mengultimatum Zubaidah, kalau masih menolak jadi istrinya, dia akan dijadikan tumbal Lancang Kuning yang akan diluncurkan ke tetap menolak, Zubaidah ditarik paksa oleh Hasan ke lokasi Lancang Kuning, lalu dia mendorong tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning. Perahu itu pun meluncur ke yang baru pulang menemui Bathin Sanggono amat terpukul mendengar cerita mengenaskan tentang istri dan bayinya. Umar pun membunuh Raja dan Hasan serta Bomo menggunakan yang sedih lalu berlayar ke Tanjungjati menggunakan Lancang Kuning. Namun, di tengah laut, Lancang Kuning dihantam ombak besar dan angin topan. Lancang Kuning karam, dan Umar tewas. Kejayaan Kerajaan Bukitbatu pun musnah karena semua pimpinannya Tenas, legenda Lancang Kuning ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Riau. Cerita ini menggambarkan agar raja tidak mudah percaya dengan kabar yang dibuat bawahannya. Bisa jadi, kabar dari bawahan sebagai alat menjatuhkan bawahan lainnya. ***Berita ini telah tayang di dengan judul "Riau dan Asal Mula Sebutan Bumi Lancang Kuning"EditorAkham Sophian
Ξሰቸոፀι аμυлоምиρ էአγ уወиδоմጡՋωзеչ ነеգеዥεռушε эхαφупсазу
Цሙ нуηωрсոврΘпስцաгяሲէ еԵሼуኼупеπըм ξаλиፄա зву
Вሑ μαбΡ уνаβ крላхуնаԹ р ηецил
ኙፐж ውфАхиδ бԱбрι ኧощυсвостա що
Latarfisik pada teks Melayu "Lancang Kuning" adalah Bukit Batu, daerah Kabupaten Bengkalis dan Tanjung Jati. Naskah ini tidak jauh berbeda dengan dengan cerita lisan masyarakat Riau yang menyebutkan bahwa Lancang Kuning memang terjadi di daerah Bukit Batu dan Lancang Kuning karam di perairan Tanjung Jati. Cerita Rakyat Riau sejarah lancang kuning – Sebutan Lancang merupakan sebuah perahu yang ukurannya berbeda-beda, lantaran ada yang kecil dan ada juga yang besar, atau dengan sebutan lain lancang merupakan alat perhubungan air pada masa lalu. Dalam masyarakat Riau lebih dikenal dengan lancang kuning yang merupakan lambang kebesaran daerah Riau lantaran itu lancang kuning ditetapkan menjadi lambang serta nyanyi daerah Riau. Adapun cerita lancang kuning berasal dari sebuah kerajaan yang terdapat di Bukit Batu. Wilayah kabupatin bengkalis. Kerajaan ini di perintah oleh raja yang bernama Datuk Laksmana Perkasa Alim dan dibantu dua orang panglima yakni panglima umar serta panglima Hasan. Panglima Umar merupakan seorang panglima yang dipercaya Datuk Laksmana perkasa Pada suatu hari panglima Umar menghadap Datuk Laksmana Perkasa untuk memberikan hasrat hati yakni ingin mempersunting zubaidah, seorang gadis negeri itu. Permohonan umar disambut baik oleh Datuk Laksmana, atas persetujuan Datuk Laksmana dilangsungkan pernikahan secara besar-besaran. Rupanya perkawinan panglima Umar dengan Zubaidah memicu rasa tidak senang bagi panglima Hasan, timbul dendam. Hal ini dikarenakan panglima Hasan secara diam-diam mencintai Zubaidah. Maka untuk melepaskan rasa sakit hati panglima Hasan mencari akal bagaimana agar Zubaidah bisa dimilikinya, maka dengan segala akal busuknya panglima Hasan menyuruh bomo paranormal memberikan kepada Datuk Laksmana bahwasanya dia bermimpi agar Datuk Laksmana membuat lancang kuning untuk mengamankan seluruh perairan dari lanun bajak Laut. Maka bomo paranormal itupun menyampaikan kebohongannya kepada Datuk Laksmana, sehingga Datuk Laksaman pun percaya dan memerintahkan rakyatnya untuk membuat perahu lancang kuning. Perahu tersebut di kerjakan siang malam, setelah lancang kuning hampir selesai, tersebar informasi bahwasanya Bathin Sanggoro melarang para nelayan Bukit Batu untuk mencari ikan di tanjung jati. Maka Datuk Laksmana memerintahkan agar panglima umar berangkat serta menemui bathin sanggoro, sungguh berat hati panglima umar untuk berangkat lantaran istrinya sedang hamil tua serta tidak lama lagi ia akan melahirkan, namun lantaran tugas yang amat penting, seluruh perasaan itu ditahan, demi kerajaan. Sesudah berlayar beberapa hari sampailah panglima Umar di tempat Bathin Sanggoro serta di ceritakan seluruh informasi yang tersebar di Bukit Batu. Mendengar cerita itu Bathin Sangoro terkejut, lantaran selama ini ia tidak pernah melarang nelayan Bukit Batu menangkap ikan di Tanjung Jati. Mendengar cerita Bathin Sanggoro panglima Umar termenung serta berfikir, apakah karangan yang terlaksana di balik peristiwa ini? Melihat keadaan ini, lalu Bathin Sanggoro menganjurkan agar informasi ini diselidiki dari mana asal muasalnya. Rupanya apa yang disampaikan Bathin Sanggoro dituruti panglima Umar, sewaktu perjalanan pulang panglima berkeliling, guna mencari siapa yang membuat informasi ini. Malam ini tepat lima belas hari bulan purnama. Malam itu lancang kuning akan diluncurkan ke laut. Dibalai-balai sudah tidak sedikit pemuka kerajaan serta penduduk negeri untuk menyaksikan peluncuran lancang kuning. Bermacam-macam hiburan rakyat dipertunjukkan. Seluruh penduduk negeri bergembira terkecualai Zubaidah, lantaran suaminya panglima Umar telah satu bulan pergi serta hingga kini belum kembali, serta lantaran itu ia tidak pergi menghadari acara peluncuran lancang kuning pada malam itu. Sesudah seluruh keparluan peluncuran lancang kuning di siapkan bomo paranormal memberikan petunjuk kepada Datuk Laksmana. Acara peluncuran di mulai dengan tepung tawar pada dinding lancang kuning, lantas di lanjutkan panglima Hasan serta pemuka masyarakat lain-lainnya. Selesai tepung tawar di lanjutkan dengan pengasapan setelah itu barulah seluruh yang hadir diperintahkan agar bisa berdiri disamping lancang kuning serta seluruh bunyi-bunyian di bunyikan dan seluruh rakyat di perintahkan untuk mendorong kuning mendorong kelaut. Namun anehnya, perahu lancang kuning tidak bergerak sedikitpun, masyarakat merasa heran serta bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi dengan perahu lancang kuning ini. Sehingga wajah si bomo paranormal merah padam. Bomo paranormal segera bersimpuh kepada Datuk Laksmana serta mengatakan “ ampun tuan ku yang mulia Rupanya lancang kuning tidak mampu di luncurkan andai “ . . . lalu apa yang harus kita lakukan ? kata Datuk Laksmana. katakan lah! Andai lancang kunning ingin di luncurkan Perlu ada korban”. Korban berapa ekor kerbau yang di perlukan. Tuan ku yang mulia, bukan kerbau. bomo menghampiri Datuk Laksmana serta membisikkan bahwasanya “ampun tuanku korbannya adalah seorang perempuan hamil sulung” Datuk Laksmana tertunduk serta termenung dan mengatakan kepada bomo paranormal bahwasanya agar perluncuran lancang kuning di undurkan saja. Sesudah sebagian orang pulang, panglima Hasan pergi kerumah Zubaidah serta di dapatinya Zubaidah sedang duduk termenung. Zubaidah terkejut dengan kedatangan panglima hasan sambil mengatakan Kenapa lagi kau kesini panglima hasan”? “Zubaidah apa lagi yang kau tunggu? Suami mu tidak akan kembali lagi, kerena itu biar aku yang menjadi ayah anak mu itu”! Apa kata mu panglima pengkhianat ? biar saya mati dari pada saya bersuamikan engkau! jawab panglima hasan. Andai anda masih menolak permintaan ku, maka engkau akan saya jadikan gilingan lancang kuning yang akan di luncuran kelaut Lantaran Zubaidah tetap menolak permintaan pangliama Hasan, maka Zubaidah di tarik serta matanya di tutup oleh pengawalnya, setelah sampai di lokasi lancang kuning yang akan di luncurkan, Panglima Hasan mendorong tubuh Zubaidah kebawah lancang kunung, disaat itu pula panglima Hasan memerintahkan agar lancang kuning di dorong kelaut. Cuma di dorong oleh beberapa orang saja lancang kuning meluncur dengan mulus. Sesudah lancang kuning di laut tampaklah darah serta daging Zubaidah berserakan di tanah dan di saat itu juga, turunlah hujan lebat petir serta angin kencang dan bertepatan waktu itu panglima Umar merapat ke pelabuhan Bukit Batu. Sesudah perahu di tambatkan di pelabuhan panglima Umar langsung kerumah untuk melihat istri serta anaknya yang sudah di tinggal selama sebulan, namun setelah sampai di rumah, rumahnya kosong, dipanggilnya Zubaidah akan tetapi tidak ada jawaban. Hati panglima telah mulai gelisah, maka dia berangkat kepelabuhan, di tengah jalan ia berpapasan dengan panglima Hasan, langsung panglima Umar bertanya kepadanya, dimana gerangan istriku, panglima Hasan bercerita, istrinya Zubaidah sudah di jadikan gilingan lancang kuning oleh Datuk Laksmana. Mendengar cerita panglima Hasan,panglima umar langsung pergi ketempat peluncuran lancang kuning, di dapatinya darah berserakan alangkah sedih hati panglima Umar melihat tubuh istrinya itu, Seraya menyapu darah istrinya yang ada di tanah dan di usap ke mukanya dan mengatakan bahwa ia akan membalas atas kematian istrinya itu kepada Datuk Laksmana, akan tetapi baru saja ia berjalan di lihatnya Datuk Laksmana berjalan kearahnya. Sesudah orang-orang bertemu pangliama umar langsung menusukan pedangnya kearah perut Datuk Laksmana, tanpa ada pembicaraan, akhirnya Datuk Laksmana mati ditangan panglima Umar. Disaat itu pula datanglah Bomo paranormal dan bercerita segala fenomena yang sebetulnya, bahwasanya yang menjadikan Zubaidah untuk gilingan lancang kuning adalah panglima Hasan, tanpa mengulur waktu panglima Umar pergi mencari panglima Hasan. Dari kejauhan panglima Umar melihat panglima Hasan telah bersiap-siap untuk melarikan diri menuju lancang kuning namun belum sempat melepaskan talinya, panglima Umar sudah berada di hadapannya dengan pedang terhunus. Sambil mengatakan “nah. . . malam ini. . . engkau atau pun aku akan mati, diatas perahu lancang kuning ini.” Dan perkelahian antara dua panglima ini pun terjadi di atas perahu lancang kuning. Yang di saksikan oleh orang ramai. Dan pada akhirnya panglima Hasan mati di tangan panglima Umar serta matinya jatuh kelaut. Waktu itu lah panglima Umar melihat ke pantai serta mengatakan kepada orang yang ada di pantai bahwasanya ia sudah membunuh Datuk Laksmana lantaran perbuatan panglima Hasan kerena itu aku akan pergi dengan lancang kuning untuk selama-lamanya, maka di saat itu datanglah badai besar yang menenggelamkan perahu lancang kuning bersama panglima Umar. Panglima Umar akhirnya terkubur di dasar laut Tanjung Jati dan kejayaan kerajaan negeri Bukit Batu berangsur-angsur hilang ditelan masa Dilansir dari berbagai sumberInternet, Awalnya dipublikasikan pada3 Juli 2021 745 am
cerita rakyat riau lancang kuning

LancangKuning, KUANSING - Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Daerah Pemilihan Provinsi Riau 2, Dr H Syahrul Aidi Maazat pada hari Selasa (02/08/2022) kemarin menyambangi masyarakat di Kabupaten Kuantan Singgingi. Dalam pertemuan itu, Syahrul Aidi menyampaikan kepada masyarakat perwakilan dari Simpang Raya dan Sumber Jaya

Pekanbaru, terkenal dengan batik Riau yang bermotif khas melayu yang sangat indah, Riau juga terkenal dengan lancang kuning. Lancang Kuning sudah menjadi cerita rakyat Riau turun temurun di daerah Pekanbaru Riau. Lancang Kuning adalah sebuah kapal. Konon kapal yang mempunyai warna kuning merupakan kendaraan untuk para pembesar kerajaan seperti raja, datuk dan lain -lain. Lancang Kuning terdiri dari kata yang mempunyai arti melaju dan kuning sebagai lambang daulat dan harkat martabat. Dilansir dari Lancang Kuning bercerita tentang konflik dan dendam pribadi para penguasa yang akhirnya yang ikut menghancurkan pemerintah dan masyarakatnya. Cerita Rakyat Riau ini dimulai pada zaman dahulu , zaman hidupnya seorang raja yang bernama datuk Laksamana Perkasa Alam. Sebagai seorang raja dia mempunya dua orang panglima kepercayaan yang bernama panglima Umar dan panglima Hasan. Selain itu dia juga mempunyai seorang dukun yang bernama Bomo yang mempunyai tugas menjaga keselamatan orang-orang istana. Panglima Umar dan Hasan sama -sama tertarik pada seorang wanita cantik yang bernama Zubaidah. Persaingan ini dimenangkan oleh Panglima Umar. Panglima Umar lebih dahulu mempersunting Zubaidah sebagai istrinya. Menyaksikan hal ini panglima Hasan kecewa dan bermaksud jahat untuk merebut Zubaidah dari tangan panglima umar. Dalam upaya ini panglima Hasan mengajak Bomo sang dukun istana agar ikut membantu menyingkirkan Umar. Pembuatan Lancang Kuning Panglima meminta sang dukun untuk menyampaikan pada sang raja bahwa dirinya bermimpi agar beliau membangun sebuah kapal lancang kuning untuk mengamankan perairan dari bajak laut. Raja Datuk Laksmana menyetujui hal tersebut dan mulailah dibuat sebuah kapal lancang kuning selama berhari -hari. Pada saat kapal lancang kuning hampir selesai. Panglima Hasan dan Dukun Bomo melakukan rencana berikutnya lagi dengan membuat kebohongan baru. Mereka mengatakan kepada Raja Bahwa Bathin Sanggono telah melarang para nelayan dari bukit batu untuk mencari ikan di Tanjung Jati. Mengikuti perintah Datuk Laksamana, panglima Umar pergi ke Tanjung Jati unik menanyakan perihal tersebut kepada Bathin Sanggono. Setelah mendapat penjelasan dari Bathin Sanggono akhir nya panglima Umar sadar bawah diri nya menjadi korban kebohongan . Sementara itu pada saat panglima Umar pergi panglima Hasan merayu Zubaidah yang tengah hamil tua agar mau menjadi istrinya. Namun maksud panglima Hasan di tolak oleh Zubaidah. Panglima Hasan tidak sampai disitu saja. Kapal lancang kuning yang rencananya akan diluncurkan ke laut pada saat bulan purnama dibuat seolah -olah tidak bisa digerakkan walaupun di dorong oleh banyak orang . Dukun Bomo menyerankan agar ada yang dikorbankan. Seorang wanita yang hamil tua diminta oleh Bomo untuk dikorbankan agar kapal lancang bisa di dorong ke laut. Datuk Laksama akhirnya menunda peluncuran kapal lancang kuning. Namun panglima Hasan justru menemui Zubaidah jika tidak mau menjadi istrinya maka dia akan dijadikan sebagai korban bagi lancang kuning. Tubuhnya akan dijadikan gilingan agar kapal lancang kuning bisa meluncurkan ke Laut. Zubaidah tetap menolak permintaan panglima Hasan, karena itulah panglima Hasan menarik Zubaidah dan menjadikan gilingan kapal Lancang Kuning. Kapal lancang kuningpun meluncur ke laut dan Zubaidah tewas bersama jabang bayinya. Hancurnya Kapal Lancang Kuning Betapa terpuruknya hati panglima Umar ketahui mengatahui nasib istri dan cabang bayinya. Dengan jahatnya panglima Hasan justru memfitnah raja datuk laksamana sebagai dalam semua ini . Mendengar ini panglima Umar kemudian mencari dan membunuh Datuk Laksamana. Namun menyesalah panglima Umar setelah mendapat penjelasan dari dukun Domo bahwa yang menjadikan Zulbaidah sebagai gilingan lancang kuning sebenarnya panglima Hasan. Mengetahui itu panglima Umar langsung mencari panglima Hasan dan kemudian membunuhnya juga. Panglima Umar yang dalam keadaan terpukul kemudian berlayar ke Tanjung Pati. Malang ditengah laut kapal lancang kuning diterjang badai dan tenggelam. Panglima Umar tewas dan kerajaan bukit batu pun berakhir sudah. *** R24/iko INDEX BERITA Abstract Educational values are important concepts and ideals and useful for humans. In its distribution, the value of education also includes: moral, namely the view of th Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Cerita rakyat atau dengan istilah folklore adalah kisah legenda yang diceritakan secara turun temurun di masyarakat dan biasanya mengandung pesan moral yang bisa dipetik. Karena hal tersebut maka digolongkan dalam budaya lisan. Sepeti contoh cerita rakyat Lancang KuningAlkisah di suatu tempat yaitu didearah Kampar ada seorang pemuda yang bernama si Lancang. Pemuda itu sedang meminta izin kepada ibu dan guru mengajinya. Dia meminta izin untuk merantau guna memperbaiki keaadan Dia dan Ibunya yang hidup dengan keadaan miskin. Dia merantau ke daerah lain. Kemudian setelah bertahun-tahun pemuda itu ternyata sudah sukses menjadi saudagar kaya, banyak memiliki kapal , barang-barang mewah dan juga memiliki 7 orang istri. Suatu ketika pemuda itu ingin pergi ke daerah Kampar tempat kampung halamannya beserta 7 istri dan rombongan. Mendengar berita itu Ibu si Lancang pun bersiap untuk menyambutnya. Selang beberapa waktu rombongan kapal si Lancang sudah berlabuh di pulau itu. Namun ketika ibu si Lancang mendekat, Ibu si Lancang di halang-halangi oleh pengawal si Lancang karena pengawal itu tidak percaya bahwa wanita itu ibu dari si Lancang, karena berpakaian compang-camping dan kotor. Hal itu menjadi keributan diantara mereka, dengan mendengar keributan itu si lancang pun mendekat. Namun ketika si Lancang mendekat dan bertemu Ibunya, si Lancang tidak mengakuinya, karena dirinya merasa malu mempunyai ibu seperti itu. Ibu si lancang dengan mendengar perkataan itu membuat hatinya sangat hancur dan sakit, ia tak menyangka akan di perlakukan demikian oleh anaknya yang selama ini dinanti-nantikannya. Dengan perasaan terluka, Ibunya kembali pulang ke rumahnya sambil menangis sedih dan hancur berantakan. Sesampainya di rumah, Ibu Si Lancang langsung mengambil lesung dan nyiru pusaka, ia memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya dengan nyiur sambil berdoa "Ya Tuhan, Si Lancang telah kukandung selama sembilan bulan hingga ia lahir , telah kubesarkan ia dengan ikhlas, namun kini ia telah berubah. Tuhan tunjukanlah kekuasaanmu" setelah itu, tiba-tiba datang angin topan dan petir yang menggelegar menyambar kapal si Lancang, lalu gelombang Sungai naik dan menghantam kapal si Lancang sampai hancur berantakan, semua penumpang di atas kapal itu berteriak ketakutan dan barang-barang yang ada di kapal Si Lancang berhamburan, dan terdengar sayup suara Si Lancang yang berteriak di tengah badai, "Ibu...! Aku anakmu, Si Lancang telah pulang.. maafkan aku...!" Namun tetap saja Si Lancang dan istri-istrinya juga penumpang di kapal kuning nan megah itu tenggelam. Karena penyesalan itu sudah tiada gunanyaSelesaiDari cerita rakyat diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Janganlah durhaka kepada orang tua terutama ibu yang telah mengasuh kita. Dan kita sebagai anak harus menghormati dan berbuat baik kepada ibu kekayaan bukanlah segalanya, kesombongan membuat kita lupa diri dan dapat merugikan diri kita selalu bersifat baik kepada kedua orang tua, karena tidak ada hal apapun yang mampu untuk membalas jasa kedua orang tua dan janganlah bersifat sombong, karena bersifat sombong adalah perbuatan yang celaka. Lihat Cerpen Selengkapnya

Carilahsebuah cerita rakyat, lalu tuliskan kembali ke dalam bahasa daerahmu. Pada Pembelajaran 6, kamu akan membacakan tulisanmu ini di depan teman-temanmu. Riau Lancang Kuning, Soleram, Laksmana Raja di Laut. 5. Kepulauan Riau Pak Ngah Belek, Segantang Lada. 6. Jambi Dodoi Si Dodoi, Injit-Injit Semut, Timang-Timang Anakku Sayang.

Cerita rakyat Riau yang kakak ceritakan malam hari ini adalah Dongeng Pendek Si Lancang yang sudah diceritakan rakyat Riau secara turun temurun. Legenda pendek si Lancang menjadi asal muasal beberapa nama daerah di sekita Sungai Kampar, Kepulauan Riau. Dongeng Pendek Si Lancang memiliki pesan moral yang baik, agar adik-adik selalu menghormati dan menyayangi orang tua. Apakah adik-adik penasaran dengan cerita rakyat pendek dari Riau ini? Yuk kita ikuti kisahnya bersama-sama. Dahulu kala di sebuah gubuk yang reot di negeri Kampar, Kepulauan Riau tinggalah seorang janda miskin dan seorang anak laki-lakinya yang bernama Si Lancang. Hidup mereka sangat miskin. Emak Si Lancang bekerja menggarap ladang orang lain sedangkan Si Lancang menggembalakan ternak tetangganya. Kemiskinan yang mereka alami terus berlanjut hingga bertahun-tahun lamanya, hingga pada suatu ketika Si Lancang merasa jenuh dan bosan hidup miskin, ia memutuskan untuk pergi merantau ke negeri orang, lalu Si Lancang meminta izin kepada Emaknya, “Mak, sudah bertahun-tahun kita hidup miskin. Aku ingin bekerja dan mengumpulkan uang,” ucap Si Lancang pada Emaknya, “Izinkan aku merantau ke negeri orang, Mak.” Dongeng Pendek Si Lancang Cerita Rakyat Daerah Riau Emaknya Si Lancang terkejut mendengar permintaan anaknya, “Nak, kalau kau pergi. Emak tinggal dengan siapa? Tetaplah di sini” ujar Emaknya keberatan. Si Lancang menghela napas,”Percayalah Mak, ini demi kebaikan kita, agar kita jadi orang kaya, aku mohon Mak, izinkanlah,” Si Lancang terus memohon. Akhirnya dengan berat hati Emaknya mengizinkan, “Baiklah, Emak izinkan, tapi jika kau sudah jadi orang kaya segeralah pulang ke sini. Jangan lupakan Emakmu” pesan Emaknya. “Benarkah Mak?” tanya Si Lancang meyakinkan, lalu Emaknya mengangguk. Si Lancang sangat gembira, ia meloncat-loncat dengan riang. Emak Si Lancang tampak sedih melihat anaknya akan pergi. Berjatuhan air matanya. Melihat hal itu, Si Lancang langsung mendekati dan memeluk Emaknya, “Emak, percayalah. Jika nanti aku sudah kaya, aku tidak akan melupakan Emak, jangan sedih Mak,” ucap Si Lancang sambil menghapus airmata Emaknya. Emaknya mengangguk-angguk berusaha tersenyum, “Nanti malam Emak akan membuatkan lumping dodok untuk bekalmu di jalan nanti, esok pagi kau boleh berangkat,” kata Emaknya seraya tersenyum. Keesokan harinya Si Lancang pun berangkat ke kota. Hari cepat berlalu, akhirnya selama bertahu-tahun Si Lancang merantau, ia menjadi seorang pedagang kaya raya, berpuluh-puluh kapal dan ribuan anak buahnya telah ia miliki, juga istri-istri yang cantik. Si Lancang lupa, sang Emak jauh di kampung halamannya selalu menunggunya. Emaknya semakin miskin. Sedangkan Si Lancang hidup bersenang-senang bersama istri-istri dan kekayaannya yang melimpah ruah. Pada suatu hari ia berencana mengajak istri-istrinya berlayar ke Andalas. Akhirnya pemberangkatan pun tiba, ia bersama istri-istrinya juga pengawal dan awak kapal telah bersiap. Sejak berangkat dari pelabuhan kota, seluruh penumpang kapal Si Lancang berpesta-pora, mereka menggelar kain sutra dan aneka perhiasan emas dan perak di atas kapal agar semakin tampak kemewahan dan kekayaan Si Lancang. Setelah beberapa hari berlayar, akhirnya kapal Si Lancang yang megah itu merapat di Sungai Kampar, yaitu kampung halamannya. Penduduk di sekitar Sungai Kampar yang melihat kemegahan kapal Si Lancang perlahan semakin berdatangan, mereka masih mengenali wajah Si Lancang yang beberapa tahun silam pergi merantau dari kampung ini, “Itu Si Lancang rupanya! Wah dia sudah menjadi orang kaya,” seru guru mengaji Si Lancang turut bahagia. Dongeng Pendek Si Lancang “Kapalnya sangat megah, ternyata ia masih ingat jalan pulang ke kampungnya!”seru yang lain yang tak lain adalah teman masa kecil Si Lancang. Lalu ia segera berlari menuju gubuk reot Emak Si Lancang untuk memberitahu kedatangan Si Lancang. “Mak… Mak, anak Emak Si Lancang sudah kembali,” teriaknya ketika sampai di gubuk Emak Si Lancang. Kala itu, Emak Si Lancang tengah terbaring karena sakit, ia langsung terbangun mendengar anaknya sudah kembali. Dia bergegas bangkit dan dengan pakaian yang sudah compang-camping, ia tertatih-tatih menuju pelabuhan Sungai Kampar. Ketika sampai di pelabuhan, ia terkejut melihat puluhan orang mengerubuti kapal megah Si Lancang. Emak Si Lancang berusaha sekuat tenaga mencoba naik ke geladak kapal, tapi tiba-tiba anak buah Si Lancang membentak, “Hei! Kaa wanita gila, jangan naik ke kapal ini. Pergi” usirnya. Emak Si Lancang terkejut lalu ia berkata, “Aku..aku adalah Emak Si Lancang, Aku ingin bertemu dengan anakku,” ucap Emak Si Lancang. Namun anak buah- anak buah Si Lancang tetap mengusirnya, terjadilah kegaduhan. Si Lancang didampingi oleh istri-istrinya menghampiri ke geladak kapal itu, “Ada apa ini?” Tanya Si Lancang yang merasa terganggu. Emak Si Lancang yang melihat anaknya Iangsun g berkata, “Lancang, ini Emakmu. Kau masih ingat kan?” seru Emaknya gembira. Si Lancang terkejut melihat Emaknya masih hidup, namun bukannya ia memeluk Emaknya, ia malah membentak kasar, ia malu pada istri-istrinya memiliki Emak yang miskin dan kucel, “Bohong! Kau bukan Emakku. Kau kotor dan jelek! Usir dia dari kapalku!” teriak Si Lancang pada anak-anak buahnya. Dongeng Pendek Si Lancang Dari Riau Emaknya terkejut mendengar kata-kata anaknya, belum sempat ia berkata, ia sudah didorong oleh anak buah Si Lancang sampai terjatuh, “Pergi!!!” teriak anak buah Si Lancang kasar. Hati Emak Si Lancang sangat hancur dan sakit, ia tak menyangka akan di perlakukan demikian oleh anaknya yang selama ini dinanti-nantikannya. Dengan perasaan terluka, Emaknya kembali pulang ke gubuknya sambil menangis. Sesampainya di gubuk, Emak Si Lancang langsung mengambil lesung dan nyiru pusaka, ia memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya dengan nyiur sambil berdoa dengan khusyuknya, “Ya Tuhan, Si Lancang telah kulahirkan selama sembilan bulan lamanya, telah kubesarkan ia dengan ikhlas, kini ia telah berubah. Tunjukanlah kekuasaan-Mu Tuhan,” Iepas Emaknya berkata demikian, tiba-tiba datang angin topan berhembus amat kencang, sementara itu petir menggelegar menyambar kapal Si Lancang, lalu gelombang Sungai Kampar naik dan menghantam kapal Si Lancang sampai hancur berantakan, semua penumpang di atas kapal itu berteriak ketakutan dan semua penduduk berlarian menjauhi sungai. Terdengar sayup-sayup suara Si Lancang yang berteriak di tengah badai, “Emaaak…! Aku anakmu, Si Lancang telah pulang.. maafkan aku…!” Namun tetap saja Si Lancang dan istri-istrinya juga para penumpang kapal itu tenggelam. Barang-barang yang ada di kapal Si Lancang berhamburan, kain sutra yang dibawa si Lancang dalam kapalnya melayang-Iayang. Lalu kain itu berlipat dan bertumpuk menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri, sebuah buah gong terlempar dan jatuh di dekat gubuk Emak Si Lancang di Rumbio, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Lalu sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang letaknya berdekatan dengan Danau Si Lancang. Kemudian di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak, bila tiang bendera kapal Si Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Konon, banjir itulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya karena durhaka kepada Emaknya. Pesan moral dari Dongeng Pendek Si Lancang adalah Seorang anak harus menghormati dan menyayangi dengan tulus kedua orangtuanya dalam kondisi apapun. Baca dongeng pendek kami lainnya pada posting Kumpulan Cerita Hewan Fabel Pendek Terbaru dan Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Pendek Fabel
Iamenjadi cerita rakyat Riau secara turun-temurun di daerah Pekan Baru Riau. Lancang Kuning adalah sebuah kapal, kununnya berwarna kuning dimana ia digunakan oleh Raja, pembesar-pembesar dan lain-lain. Lancang Kuning terdiri daripada kata (perkataan) Lancang yang mempunyai erti bahasa Melayu Dan Kuning sebagai lambang kedaulatan Raja.
Cerita Putri Tujuh Asal Muasal Kota Dumai Dahulu, di Dumai ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Cik Sima. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Cik Sima mempunyai tujuh orang putri yang cantik-cantik. Di antara ketujuh putrinya, putri bungsulah yang paling cantik. la bernama Mayang Sari. Suatu hari, ketujuh putri ini sedang mandi di Lubuk Sarong Umai. Mereka tidak menyadari bahwa ada orang yang sedang memerhatikan mereka. Pangeran Empang Kuala yang secara tidak sengaja sedang melewati daerah itu terkagum-kagum dengan kecantikan ketujuh putri itu. Namun, matanya terpaku pada Putri Mayang Sari. “Hmm, cantik sekali gadis itu. Gadis cantik di Lubuk Umai. Dumai… Dumai,” bisiknya pada diri sendiri. Sekembalinya ke kerajaan, Pangeran Empang Kuala memerintahkan utusannya untuk pergi ke Kerajaan Seri Bunga Tanjung untuk meminang Putri Mayang Sari. Secara adat, Cik Sima menolak dengan halus pinangan kepada putri bungsunya, karena seharusnya putri tertualah yang harusnya menerima pinangan lebih dahulu. Pangeran Empang Kuala murka mendengar pinangannya ditolak. Lulu, ia mengerahkan pasukannya untuk menyerbu Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Mendapat serangan tersebut, Cik Sima segera mengamankan ketujuh puterinya ke dalam hutan. Mereka disembunyikan di sebuah lubang yang ditutupi atap terbuat dari tanah dan dihalangi oleh pepohonan. Cik Sima juga membekali ketujuh puterinya bekal makanan selama tiga bulan. Setelah itu, Cik Sima kembali ke medan perang. Pertempuan berlangsung selama berbulan-bulan. Telah lewat tiga bulan pertempuran tidak juga selesai dan pasukan Cik Sima semakin terdesak. Korban sudah banyak sekali berjatuhan dan kerajaan pun porak poranda. Akhirnya, Cik Sima meminta bantuan jin yang sedang bertapa di Bukit Hulu Sungai Umai. Ketika Pangeran Empang Kuala dan pasukannya sedang beristirahat di bagian hilir Sungai Umai pada malam hari, tiba tiba saja ribuan buah bakau berjatuhan menimpa pasukan Pangeran Empang Kuala yang sedang beristirahat. Sebentar saja pasukan tersebut dapat dilumpuhkan. Pangeran Empang Kuala pun terluka. Dalam kondisi yang lemah itu, datanglah utusan Ratu Cik Sima. “Hamba datang sebagai utusan Ratu Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Ratu meminta Tuan untuk menghentikan peperangan ini. Peperangan ini tidak ada kebaikannya bagi kedua belch pihak. Hanya akan menimbulkan kesengsaraan,” kata utusan Ratu Cik Sima Pangeran Empang Kuala menyadari bahwa pihaknyalah yang memulai semua kerusakan ini. Akhirnya, ia memerintahkan pasukannya untuk mundur. Sepeninggal pasukan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima bergegas menuju tempat persembuyian ketujuh putrinya. Namun, ia sangat terpukul, karena dilihatnya ketujuh puterinya telah meninggal dunia, karena kelaparan. Peperangan berlangsung Iebih lama dari perkiraan mereka, sehingga bekal makanan yang ditinggalkan tidak cukup. Ratu Cik Sima tak kuasa menahan sesal dan kesedihan atas kehilangan putri-putrinya. la jatuh sakit dan meninggal dunia. Konon, kata Dumai diambil dari kata-kata Pangeran Empang Kuala ketika sedang melihat Putri Mayang Sari di sungai. Kini, di Kota Dumai terdapat situs bersejarah, yaitu sebuah persanggrahan Putri Tujuh yang letaknya di daerah wilayah kilang Minyak PT Pertamina Dumai. Pesan moral dari Cerita Rakyat Riau Putri Tujuh Asal Usul Dumai adalah permusuhan akan menimbulkan kerugian dan penyesalan. Rakyat Daerah Riau Asal Mula Pulau Senua Di kepulauan Natuna, ada sepasang suami istri, yaitu Baitusen dan Mai Lamah. Suatu hari, mereka merantau ke Pulau Bunguran agar bisa hidup lebih baik. Di Pulau Bunguran, mereka hidup bahagia. Para tetangga pun menyukai mereka. Mak Semah, seorang bidan kampung pun selalu bersedia menolong mereka jika salah satu di antara mereka ada yang sakit. Suatu hari, Baitusen menemukan sarang teripang, binatang laut yang mahal harganya jika dikeringkan dan dijual. Baitusen dan istrinya pun menjadi saudagar teripang yang kaya raya. Kehidupan yang mewah mengubah sifat Mai Lamah. la menjadi sombong dan pelit. Perempuan itu pun tidak mau lagi bergaul dengan para tetangganya yang miskin. Suatu hari, Mak Semah datang untuk meminjam beras. Mai Lamah membentaknya dan mengungkit tentang utang-utang perempuan itu. Mak Semah sangat sedih mendengar ucapan Mai Lamah. Sejak itu, para tetangga menjauhi Mai Lamah. Suatu waktu, tibalah saatnya Mai Lamah melahirkan. Mereka sudah memesan bidan dari pulau seberang, tetapi ia tak kunjung datang. Akhirnya, Baitusen mencoba meminta bantuan kepada Mak Semah dan tetangga lainnya. Namun, tak seorang pun mau menolong karena mereka pernah disakiti oleh Mai Lamah. Baitusen membawa istrinya ke pulau seberang untuk menemui bidan. Mereka menggunakan perahu. Mai Lamah meminta suaminya untuk membawa semua peti perhiasan dalam perahu mereka. Baitusen menuruti kemauan istrinya. Mereka membawa peti perhiasan, lalu menjalankan perahu itu. Ternyata, semakin ke tengah, gelombang laut semakin besar. Air masuk ke dalam perahu. Semakin lama muatan perahu semakin berat. Perahu tenggelam bersama seluruh perhiasan yang mereka bawa. Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mai Lamah berpegangan pada ikat pinggang suaminya. Mereka berusaha berenang ke tepian di tengah gelombang laut yang ganas. Tubuh Mai Lamah timbul dan tenggelam. Badannya berat, karena sedang mengandung dan ditambah banyaknya perhiasan yang ia pakai. Akhirnya, mereka sampai ke Pulau Bunguran Timur. Saat Mai Lamah yang sombong dan kikir menginjakkan kaki di pulau itu, tiba-tiba guntur menggelegar. Tampaknya, tanah Bunguran tidak mau menerima kedatangan perempuan itu. Tiba-tiba, tubuh Mai Lamah yang dalam keadaan mengandung berubah menjadi sebongkah batu besar. Lama kelamaan, batu tersebut berubah menjadi sebuah pulau. Masyarakat sekitar menamai pulau tersebut dengan Pulau Senua. Menurut bahasa masyarakat setempat “senua” adalah berbadan dua atau mengandung. Emas dan perak yang melilit tubuh Mai Lamah berubah menjadi burung walet. Pulau ini terletak di ujung Tanjung Senubing, Bunguran Timur. Sampai kini, Pulau Bunguran terkenal dengan sarang burung waletnya. Pesan moral dari Cerita Rakyat Daerah Riau Asal Mula Pulau Senua adalah Sifat kikir dan tamak akan mebawa celaka pada diri kita sendiri. Karena itu, kita harus saling tolong-menolong antar sesama. Cerita Si Lancang Kuning Konon, pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita miskin dengan anak laki-lakinya yang bernama si Lancang. Mereka berdua tinggal di sebuah gubuk reot di sebuah negeri bernama Kampar. Ayah si Lancang sudah lama meninggal dunia. Emak Lancang bekerja menggarap ladang orang lain, sedangkan si Lancang menggembalakan ternak tetangganya. Pada suatu hari, si Lancang betul-betul mengalami puncak kejenuhan. Ia sudah bosan hidup miskin. Ia ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar kelak menjadi orang kaya. Akhirnya ia pun meminta izin emaknya untuk pergi merantau ke negeri orang. “Emak, Lancang sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Lancang ingin pergi merantau, Mak!” mohon si Lancang kepada emaknya. Walaupun berat hati, akhirnya emaknya mengizinkan si Lancang pergi. “Baiklah, Lancang. Kau boleh merantau, tetapi jangan lupakan emakmu. Jika nanti kau sudah menjadi kaya, segeralah pulang,” jawab Emak Lancang mengizinkan. Mendengar jawaban dari emaknya, si Lancang meloncat-loncat kegirangan. Ia sudah membayangkan dirinya akan menjadi orang kaya raya di kampungnya. Ia tidak akan lagi bekerja sebagai pengembala ternak yang membosankan itu. Emak Lancang hanya terpaku melihat si Lancang meloncat-loncat. Ia ia tampaknya sedih sekali akan ditinggal oleh anak satu-satunya. Melihat ibunya sedih, si Lancang pun berhenti meloncat-lonta, lalu mendekati emaknya dan memeluknya. “Janganlah bersedih, Mak. Lancang tidak akan melupakan emak di sini. Jika nanti sudah kaya, Lancang pasti pulang Mak,” kata si Lancang menghibur emaknya. Emaknya pun menjadi terharu mendengar ucapan dan janji si Lancang, dan hatinya pun jadi tenang. Lalu si Emak berkata, “Baiklah Nak! Besok pagi-pagi sekali kamu boleh berangkat. Nanti malam Mak akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di dalam perjalanan nanti.” Keesokan harinya, si Lancang pergi meninggalkan kampung halamannya. Emaknya membekalinya beberapa bungkus lumping dodak makanan kesukaan si sudah si Lancang di rantauan. Akhirnya ia pun menjadi seorang pedagang kaya. Ia memiliki berpuluh-puluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istri-istrinya pun cantik-cantik dan semua berasal dari keluarga kaya pula. Sementara itu, nun jauh di kampung halamannya, emak si Lancang hidup miskin seorang diri. Suatu hari si Lancang berkata kepada istri-istrinya berlayar bahwa dia akan mengajak mereka berlayar ke Andalas. Istri-istrinya pun sangat senang. “Kakanda, bolehkah kami membawa perbekalan yang banyak?” tanya salah seorang istri Lancang. “Iya…Kakanda, kami hendak berpesta pora di atas kapal,” tambah istri Lancang yang lainnya. Si Lancang pun mengambulkan permintaan istri-istrinya tersebut. “Wahai istri-istriku! Bawalah perbekalan sesuka kalian,” jawab si Lancang. Mendengar jawaban dari si Lancang, mereka pun membawa segala macam perbekalan, mulai dari makanan hingga alat musik untuk berpesta di atas kapal. Mereka juga membawa kain sutra dan aneka perhiasan emas dan perak untuk digelar di atas kapal agar kesan kemewahan dan kekayaan si Lancang semakin tampak. Sejak berangkat dari pelabuhan, seluruh penumpang kapal si Lancang berpesta pora. Mereka bermain musik, bernyanyi, dan menari di sepanjang pelayaran. Hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. “Hai …! Kita sudah sampai …!” teriak seorang anak buah kapal. Penduduk di sekitar Sungai Kampar berdatangan melihat kapal megah si Lancang. Rupanya sebagian dari mereka masih mengenal wajah si Lancang. “Wah, si Lancang rupanya! Dia sudah jadi orang kaya,” kata guru mengaji si Lancang. “Megah sekali kapalnya. Syukurlah kalau dia masih ingat kampung halamannya ini,” kata teman si Lancang sewaktu kecil. Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancang kepada emak si Lancang yang sedang terbaring sakit di gubuknya. Betapa senangnya hati emak si Lancang saat mendengar kabar anaknya datang. “Oh, akhirnya pulang juga si Lancang,” seru emaknya dengan gembira. Dengan perasaan terharu, dia bergegas bangkit dari tidurnya, tak peduli meski sedang sakit. Dengan pakaian yang sudah compang-camping, dia berjalan tertatih-tatih untuk menyambut anak satu-satunya di pelabuhan. Sesampainya di pelabuhan, emak si Lancang hampir tidak percaya melihat kemegahan kapal si Lancang anaknya. Dia tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan anak satu-satunya itu. Dengan memberanikan diri, dia mencoba naik ke geladak kapal mewahnya si Lancang. Saat hendak melangkah naik ke geladak kapal, tiba-tiba anak buah si Lancang menghalanginya. “Hai perempuan jelek! Jangan naik ke kapal ini. Pergi dari sini!” usir seorang anak buah kapal si Lancang. “Tapi …, aku adalah emak si Lancang,” jelas perempuan tua itu. Mendengar kegaduhan di atas geladak, tiba-tiba si Lancang yang diiringi oleh istri-istrinya tiba-tiba muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku,” teriak si Lancang yang berdiri di samping istri-istrinya. Rupanya ia malu jika istri-istrinya mengetahui bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya. “Oh, Lancang …, Anakku! Emak sangat merindukanmu, Nak …,” rintih emak si Lancang. Mendengar rintihan wanita tua renta itu, dengan congkaknya si Lancang menepis, lalu berkata, “manalah mungkin aku mempunyai emak tua dan miskin seperti kamu.” Kemudian si Lancang berteriak, “Kelasi! Usir perempuan gila itu dari kapalku!” Anak buah si Lancang mengusir emak si Lancang dengan kasar. Dia didorong hingga terjerembab. Kasihan sekali Emak Lancang. Sudah tua, sakit-sakitan pula. Sungguh malang nasibnya. Hatinya hancur lebur diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan hati sedih, wanita tua itu pulang ke gubuknya. Di sepanjang jalan dia menangis. Dia tidak menyangka anaknya akan tega berbuat seperti itu kepadanya. Sesampainya di rumah, wanita malang itu mengambil lesung dan nyiru pusaka. Dia memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya dengan nyiru sambil berdoa, “Ya, Tuhanku. Si Lancang telah kulahirkan dan kubesarkan dengan air susuku. Namun setelah kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!” Dalam sekejap, tiba-tiba angin topan berhembus dengan dahsyat. Petir menggelegar menyambar kapal si Lancang. Gelombang Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang hingga hancur berkeping-keping. Semua orang di atas kapal itu berteriak kebingungan, sementara penduduk berlarian menjauhi sungai. Cerita Batu Batangkup Cerita rakyat melayu ini sejak aku kecil dah pernah kudengar. Dahulu setahuku judulnya “Batu Belah Batu Betangkup” yang berarti batu yang bisa terbuka dan tertutup terbelah dan kemudian bersatu kembali seperti kerang. Pada buku Cerita Rakyat Melayu keluaran Adicita diberi judul Batu Batangkup dengan pencerita Farouq Alwi serta disunting oleh Mahyudin Al Mudra dan Daryatun. Buku ini terbitan Oktober 2006 merupakan kerjasama antara Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dengan Adicita Karya Nusa. Berikut saduran/gubahan dari buku tersebut Zaman dahulu di dusun Indragiri Hilir, tinggal seorang janda bernama Mak Minah di gubuknya yang reyot bersama satu orang anak perempuannya bernama Diang dan dua orang anak laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin. Mak Minah rajin bekerja dan setiap hari menyiapkan kebutuhan ketiga anaknya. Mak Minah juga mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka. Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak Minah sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Merka bermain kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya. “Yaaa Tuhan, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah mau menghormati emaknya,” Mak Minah berdoa diantara tangisnya. Esok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup. “Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu Batangkup kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari rambut Mak Minah yang panjang. Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya sejak pagi. Tetap karena makanan cukup banyak, mereka pun makan lalu bermain-main kembali. Mereka tidak peduli lagi. Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka mulai kebingungan dan lapar. Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka dengan Batu Batangkup dan melihat ujung rambut emaknya. “Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu…,” ratap mereka. “Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup. Maka mereka kemudian rajing membantu emak, menyayanngi serta patuh dan menghormati emak. Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal mereka yang malas dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan menghormati emak. Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan kembali oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi sampai sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian. Besoknya mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata Batu Batangkup sambil menelan mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali. Legenda Putri Mambang Linau Alkisah, di tanah Bengkalis hiduplah seorang pemuda bernama Bujang Enok. Ia hidup sebatang kara, orang tuanya sudah tiada, saudaranya juga pergi entah kemana. Meskipun, kehidupannya menyedihkan namun ia adalah pemuda yang baik dan pemurah hati. Pekerjaan sehari-harinya mencari kayu api di dalam hutan, pekerjaan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari – harinya. Suatu pagi, ketika Bujang Enok sedang berjalan di tengah hutan, tiba-tiba ia dihadang seekor ular berbisa. Karena ular tersebut hendak mematuk Bujang Enok, maka terpaksa, Bujang Enok melecutnya dengan tongkat rotan. Seketika itu juga ular tersebut langsung menggeliat dan mati. “Syukurlah, ular tersebut telah tiada, kita tidak akan diganggu ular itu lagi ”, suara beberapa perempuan terdengar di dekat situ. Semakin lama, suara-suara tersebut semakin jelas terdengar oleh Bujang Enok, namun ia tidak menghiraukan suara tersebut, dan ia terus melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan kayu api. Pada saat tengah hari, seperti biasanya Bujang Enok pulang ke pondoknya. Ketika dia masuk ke dapur pondoknya, Bujang Enok merasa heran, karena di dapurnya telah tersedia makanan yang kelihatannya sangat lezat. Karena lapar ia pun langsung melahap semua hidangan yang tersaji itu. Sambil menikmati kelezatan makanan itu, Bujang Enok menjadi penasaran karena ia tidak mempunyai saudara dan orang tua maupun tetangga yang rela menyiapkan makanan untuk dia. Keesokan harinya, Bujang Enok melaksanakan niatnya untuk mencari tahu orang yang telah berani masuk ke dalam pondoknya. Hari itu ia memutuskan tidak pergi ke hutan. Dari pagi hingga siang ditunggunya orang yang masuk ke pondoknya. Bujang Enok menunggu di antara semak-semak yang berada tak jauh dari pondoknya. Menjelang tengah hari, tiba-tiba dari arah lubuk, datang tujuh gadis jelita. Mereka datang beriring-iringan dan menjunjung hidangan, lalu masuk ke dalam pondok Bujang Enok. Ketujuh gadis itu mengenakan selendang berwarna pelangi. Namun dari ketujuh gadis itu, gadis yang berselendang warna jinggalah yang paling cantik. Bujang Enok mengawasi gadis itu. Tak lama kemudian, ketujuh gadis itu keluar dari pondok Bujang Enok, dan berjalan ke arah lubuk hulu sungai. Mereka akan mandi, dan Masing-masing gadis itu menyangkutkan selendangnya pada sebuah ranting kayu. Dengan langkah hati-hati, Bujang Enok membuntuti ketujuh gadis jelita itu. Bujang Enok bersembunyi di balik semak-semak. Bujang Enok mendekati pakaian mereka dan mengambil selendang berwarna jingga. Karena mereka mandi sambil bersendau gurau, sehingga tak menyadari kehadiran Bujang Enok yang tak jauh dari tempat mereka mandi, ketujuh gadis itu naik ke tepi lubuk lalu berganti pakaian. Masing-masing mengambil dan mengenakan selendangnya yang tergantung di ranting. Namun, salah satu dari di antara ketujuh gadis itu yaitu yang mengenakan selendang berwarna jingga, ia tidak menemukan selendangnya. Setelah beberapa lama mereka mencari, mereka tetap tidak menemukan selendang terebut. Menjelang sore, keenam gadis yang telah mengenakan selendang, tiba-tiba menari dan kemudian melayang-layang terbang ke angkasa meninggalkan gadis yang kehilangan selendang itu seorang diri di tepian lubuk. Sementara itu, Bujang Enok tercengang-cengang menyaksikan peristiwa itu dari balik melihat hal itu, Bujang Enok keluar dari persembunyiannya dan menghampiri gadis yang sedang mencari-cari selendangnya. “ Apa sedang engkau cari, wahai gadis cantik? ” tanya Bujang Enok.“ Hamba sedang mencari selendang. Apakah Tuan mengetahui selendang berwarna jingga di dekat sini ?? ” pinta Gadis itu.“ Saya bersedia mengembalikan selendang jingga milik Tuan Putri, tetapi dengan syarat, Tuan Putri bersedia menikah dengan saya,” kata Bujang Enok.“ Asalkan Tuan mengembalikan selendang saya. Saya berjanji bersedia menikah dengan Tuan, tetapi apabila saya terpaksa harus menari, berarti kita akan bercerai kasih,” kata gadis jelita itu.“Baiklah, saya akan mengingat janji itu. Nama saya Bujang Enok,” jelas Bujang Enok memperkenalkan dirinya. “Nama saya Mambang Linau,” kata gadis jelita itu saat itu, mereka menjalin cinta kasih dalam sebuah bahtera rumah tangga. Bujang Enok dan Mambang Linau hidup bahagia, rukun dan berkecukupan. Sejak menikah dengan Mambang Linau, Bujang Enok semakin terkenal di kampungnya, ia dikenal pemuda yang pemurah dan baik hati. Lama kelamaan kebaikan hati Bujang Enok terdengar hingga ke kerajaan. sehingga Raja menganggat Bujang Enok menjadi Batin atau kepala kampung di desa Petalangan. dengan sifat pemurahnya. Kepemurahan hati Bujang Enok itu terdengar oleh Raja yang berkuasa di negeri itu. Semenjak menjadi batin, Bujang Enok menjadi dekat dengan Sang Raja dan menjadi salah seorang kepercayaan Raja. Suatu hari, sang Raja mengadakan pesta di istana. Raja mengundang orang – orang pembesar istana dan orang kepercayaan Raja. Mereka semua datang bersama istrinya. Ketika itu Raja mempersilahkan para istri calon undangan untuk mempersembahkan tarian. Ketika Putri Mambang Linau melihat tarian itu harinya mulai berdebar-debar. Hatinya pun semakin berdebar kencang ketika tiba giliran Putri Mambang Enok yang duduk di sampingnya menoleh ke arah istrinya, “Wahai adinda Mambang Linau, kakanda menjunjung tinggi titah raja,” bisik Bujang Enok. Mambang Linau mengerti maksud bisikan suaminya, lalu menjawab “Demi menjunjung titah raja dan rasa syukur atas tuah negeri, saya bersedia menari,” jawab Mambang Linau sambil mengenakan selendang berwarna jingga dan naik ke atas pun mulai menari layaknya seekor burung elang. Ia melambaikan selendangnya seraya mengepak-ngepakkannya. para tamu undangan terpesona oleh tarian Putri Mambang Linau, tanpa di sadari perlahan-lahan kakinya tidak berpijak di bumi. Seketika itu ia pun terbang melayang, dan terbang ke angkasa menuju kayangan. Semua tamu undangan yang hadir terperangah menyaksikan peristiwa tersebut. Sejak itu, Putri Mambang Linau tidak pernah kembali lagi. Sejak itu pula, Batin Bujang Enok bercerai kasihdan hidup seorang diri. Betapa besar pengorbanan Bujang Enok, ia rela mengalami ini semua demi menjunjung tinggi titah sang Raja. Melihat pengorbanan Bujang Enok, sang Raja pun menlantik menjadi Penghulu yang berkuasa di istana. Hingga ada sebuah pantun yang berbunyiAmbillah seulas si buah limauCoba cicipi di ujung-ujung sekaliSudahlah pergi si Mambang LinauHamba sendiri menjunjung duli Setelah peristiwa itu, setiap tahun diadakan acara tari persembahan. Tarian ini mengisahkan Putri Mambang Linau sejak pertemuan sampai perpisahannya dengan Bujang Enok. gerakan tarian ini menyerupai burung elang, maka tarian itu dinamakan tarian elang-elang. Masyarakat Riau lebih menyebutnya tari olang-olang. Tarian olang-olang ini dimainkan dengan iringan gendang gubano rebab, calempong dan gong. Tarian ini dapat dijumpai di kecamatan Siak dan Merbau, kabupaten Bengkalis, Riau, Indonesia. Cerita Hang Tuah Alkisah,Padazaman dahulu kala, Ada seorang kesatria bernama Hang Tuah. Saat masihanak-anak, Dia dan ke­­dua orangtuanya Hang Mah­mud dan Dang Merdu menetap diPu­lau Bintan. Pulau ini terdapat di perairan Riau. Rajanya ialah Sang Maniaka putraSang Sapurba raja besar yang bermahligai di Bukit Siguntang. Hang Mahmudberfirasat bahwa kelak anaknya akan menjadi seorang tokoh yang terkenal. Ketikaberumur 10 tahun, Hang Tuah pergi berlayar ke Laut Cina Sela­tan dengan 4sahabatnya, yaitu Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Le­kir, dan Hang Lekiu. Dalamper­jalanan, me­reka selalu diganggu oleh ge­rom­­bol­­­­an lanun. Dengan rasa ke­­­be­ranian­nya HangTuah dan para sa­ha­­bat­nya bisa me­ngalahkan ge­­­rom­­­bolan itu. Ka­­baritu terdengar sam­pai ke te­linga Bendahara Pa­duka Raja Bintan yang sangatkagum pada ke­beranian mereka. Suatu ketika Hang Tuah dan ke-4 sahabatnya berhasil mengalahkan 4 pe­­ngamuk yang menyerang Tuan Ben­da­­­­hara. Tuan Bendahara lalu meng­­ang­kat mereka sebagai anak angkatnya. Tuan Ben­­­dahara lalu melaporkan tentang ke­­­­he­­­­­­bat­­­­­an mereka pada Baginda Raja Syah Alam. Baginda Raja pun ikut merasa ka­gum dan pula mengangkat mereka se­­­ba­gai anak angkatnya. Beberapa tahun berlalu, Ba­ginda Ra­ja berencana mencari tempat baru seba­gai pusat kerajaan. Dia dan pung­gawa ke­rajaan termasuk Hang Tuah dan para sa­­habat­nya, melan­cong ke seki­tar Selat Me­­­laka dan Selat Singapura. Rom­­bong­an akhir­­­nya sampai di Pu­lau Ledang Di sana rom­­bong­­an me­­lihat seekor pelanduk kancil pu­tih yang ternyata susah untuk ditangkap. Menurut petuah orang tua-tua, kalau me­­­­nemui pelanduk putih di hutan maka tem­pat tersebut bagus dibuat negeri. Akhirnya di sana dibangun sebuah negeri dan dinama­kan Melaka se­suai nama pohon Melaka yang ada di tempat itu. Sesudah lama memerintah Ba­gin­da Raja berniat meminang seorang putri cantik bernama Tun Teja putri tung­gal Bendahara Seri Benua di Kerajaan Indrapura. Tapi sayangnya putri tersebut me­­no­lak pinangan Bagin­da Raja Akhir­nya Baginda Raja melamar Raden Galuh Mas Ayu putri tunggal Seri Betara Maja­pahit raja besar di tanah Jawa. Sehari menjelang pernikahan di ista­na Majapahit terjadi di suatu kegaduhan. Ta­ming Sari prajurit Majapahit yang su­dah tua tapi masih tangguh tiba-tiba meng­­­­­­amuk. Mengetahui keadaan tersebut, Hang Tuah lalu menghadang Taming Sari. Hang Tuah memiliki siasat cerdik de­ngan cara menukarkan kerisnya dengan keris Taming Sari. Setelah keris ber­tukar, Hang Tuah lalu berkali-kali me­­nye­rang Taming Sari. Taming Sari baru ka­lah sesudah keris sakti yang dipegang Hang Tuah ter­tikam ke tubuhnya. Hang Tuah lalu diberi gelar Laksamana serta dihadiahi keris Taming Sari. Baginda Raja bersama istri dan rom­­­­­­bong­annya lalu kembali ke Melaka. Selama bertahun-tahun negeri ini aman dan juga tenteram. Hang Tuah menjadi laksa­mana yang sangat setia kepada raja Melaka dan sangat disayang serta dipercaya raja. Hal tersebut menimbulkan rasa iri dan dengki prajurit dan pegawai istana. Suatu ketika tersebar fitnah yang menyebutkan bahwa Hang Tuah sudah berbuat tidak sopan de­­ngan seorang dayang istana. Pe­­nyebar fitnah itu ialah Patih Kerma Wijaya yang merasa iri pada Hang Tuah. Bagin­da Raja marah mendengar kabar tersebut. Dia me­me­­­rintahkan Bendahara Paduka Raja supaya mengusir Hang Tuah. Tuan Benda­ha­ra sebenarnya tidak mau melaksana­­­kan pe­­rintah Baginda Raja karena dia menge­ta­hui Hang Tuah tak bersalah. Tuan Ben­da­hara menyarankan supaya Hang Tuah cepat-cepat meninggalkan Melaka dan pergi ke Indrapura. Di Indrapura, Hang Tuah kenal dengan se­­­orang wanita tua bernama Dang Ratna, inang Tun Teja. Dang Ratna lalu menjadi ibu angkatnya. Hang Tuah me­­minta Dang Ratna untuk menyampai­­kan pesan kepada Tun Teja supaya mau me­­nya­yangi dirinya. Berkat upaya Dang Ratna, Tun Teja pun mau menyayangi Hang Tuah. Hu­­­­­­­­­bung­­an keduanya lalu menjadi sangat akrab. Suatu ketika, Indrapura kedatangan pe­rahu Melaka yang dipimpin oleh Tun Ratna Diraja dan juga Tun Bija Sura. Mereka me­­minta Hang Tuah supaya mau kembali ke Melaka. Tun Teja dan Dang Ratna pun ikut bersama rombongan. Setibanya di Melaka, Hang Tuah ke­mu­­­dian bertemu dengan Baginda Raja. Hang Tuah bilang, Mohon maaf, Tuanku, se­lama ini hamba tinggal di Indrapura. Ham­ba kembali untuk selalu mengabdi se­­­tia ke­pada Baginda. Tun Ratna Diraja me­la­por­­­­kan pada Baginda Raja bahwa Hang Tuah da­tang bersama Tun Teja, putri yang dulu diidam-idamkan oleh Baginda Raja. Sing­­kat ceri­ta, Tun Teja akhirnya ber­­­­sedia men­­jadi istri ke­dua Baginda Raja walaupun se­benarnya dia menya­yangi Hang Tuah. Hang Tuah lalu menjabat lagi se­­bagai Laksamana Mela­ka, yang sangat setia serta disayang raja. Hang Tuah kembali terkena fitnah se­te­­lah bertahun-tahun tinggal di Melaka. Mende­­­­ngar fitnah itu, kali ini Baginda Ra­­ja sa­­ngat marah serta memerintahkan Tuan Ben­­dahara supaya membunuh Hang Tuah. Tuan Ben­­dahara tidak tega mem­bu­­­­­nuh Hang Tuah dan memintanya supaya me­­­ng­­­ungsi ke Hulu Melaka. Hang Tuah me­nitipkan keris Ta­ming Sari ke Tuan Ben­­da­­­­­hara agar supaya pada Baginda Raja. Hang Jebat lalu menggantikan Hang Tuah seba­gai Laksamana Melaka. Oleh Baginda Raja keris Taming Sari diserahkan pada Hang Jebat. Sepeninggal Hang Tuah, Hang Jebat lupa diri serta menjadi mabuk kekuasaan. Dia ber­tindak seenaknya dan juga se­­ring bertindak tidak sopan pada para pem­besar kerajaan dan dayang-dayang. Banyak orang sudah menasihati­nya. Tapi, Hang Jebat tetap keras kepala, tidak mau berubah. Baginda Raja men­jadi kesal melihat kelakuan Hang Jebat. Tak seorang pun prajurit yang bisa mengalahkan Hang Jebat. Baginda kemudian ter­ingat kepada Hang Tuah. Tuan Ben­­da­hara memberitahu pada Baginda Raja, Maaf Baginda se­­­be­­na­r­nya Hang Tuah masih hidup. Dia me­­ngungsi ke Hulu perintah Ba­­gin­­­da Ra­ja, Hang Tuah mau kembali ke Melaka. Hang Tuah menghadap Bagin­da Raja serta menyata­­­kan kesiapannya me­lawan Hang Jebat. Hang Tuah lalu diberi keris Purung Sari. Terjadi pertempuran yang sangat hebat antara 2 sahabat yang sangat setia dan yang mendurhaka. Suatu ketika Hang Tuah berhasil merebut keris Taming Sari dan dengan keris tersebut, Hang Tuah bisa me­nga­­lah­kan Hang Jebat. Dia mati di pangkuan Hang Tuah. Hang Tuah kembali diangkat sebagai Lak­sa­mana Melaka. Sete­lah itu Melaka kem­bali damai. Laksamana Hang Tuah sering berkunjung ke luar negeri sampai ke negeri Judah dan Rum untuk memperluas pengaruh kera­jaan Me­laka di seluruh dunia. Suatu ketika Baginda Raja mengirim utus­an pedagang ke Kerajaan Bijaya Naga­ram di India, yang dipimpin oleh Hang Tuah. Setibanya sampai di India, rombongan me­­­­­­­lanjut­­­­kan pelayaran ke negeri Cina. Di pe­­labuh­­an Cina, rombongan Hang Tuah terjadi perselisihan de­ngan orang-orang Portugis, karena mereka sangat sombong, tak te­rima Hang Tuah melabuhkan kapalnya di sam­ping kapal Portugis. Setelah mengha­­dap pada Raja Cina, rombongan Hang Tuah lalu me­lanjut­­kan perjalan­an­nya kemba­li ke Me­laka. Di tengah per­jalanan me­­­re­­ka di­se­rang oleh perahu orang Por­­­tu­­gis. Hang Tuah bbisa meng­­­atasi se­­rang­­­an me­re­­ka. Kap­ten serta se­o­rang pe­r­­wi­­ra Por­­­tu­gis melari­kan diri ke Ma­nila, Fili­­pi­­na. Rom­­bong­­an Hang Tuah akhir­­nya sampai di Melaka dengan selamat. Suatu ketika raja Melaka beserta ke­lu­arga­nya berwisata ke Singapura dikawal Lak­sa­mana Hang Tuah dan Bendahara Pa­­du­­ka Raja dengan berbagai perahu ke­­be­sar­­an. Saar sampai di Selat Si­ngapu­ra Raja Syah Alam melihat seekor ikan ber­si­sik emas ber­­­matakan mutu manikam di se­kitar pe­­­­ra­hu Syah Alam. Saat mene­ngok ke per­­­mukaan air, mahkota Raja jatuh ke dalam laut. Hang Tuah langsung menyelam ke dasar laut sambil menghunus keris Taming Sari untuk mengambil mahkota itu. Dia ber­­hasil mengambil mahkota itu tetapi saat hampir tiba di perahu, seekor buaya putih besar menyambarnya sampai mah­ko­­ta beserta kerisnya jatuh lagi ke laut. Hang Tuah kembali menyelam ke dasar la­ut­­­an mengejar buaya itu. Tetapi ter­­­­­nyata mah­kota beserta kerisnya tetap tak bisa di­te­mu­kan. Sejak kehilangan mah­ko­ta dan keris­­ Taming Sari, Raja dan Hang Tuah men­jadi pe­murung serta sering sakit-sakitan. Sementara itu, Gubernur Portugis di Ma­nila amat marah mendengar laporan ke­­kalahan dari perwiranya yang berhasil me­­­lari­kan diri. Setelah beberapa bulan me­­l­aku­kan persiapan, angkatan perang Por­tugis berangkat ke Selat Melaka. Di tempat ini, mereka memulai serangan pada Me­­­laka yang menyebabkan ba­nyak prajurit Melaka kewalahan. Sementara Itu Hang Tuah sedang sakit keras. Denganketeguhannya, Hang Tuah ma­­sih bisa menyerang musuh, baik de­ngan pedang ataupunmeriam. Tapi, se­­­buah peluru mesiu Portugis berhasil meng­­­­hantam HangTuah. Dia terlempar se­jauh 7 meter dan terjatuh ke laut. Hang Tuah berhasildiselamatkan lalu di­bawa de­ngan perahu Mendam Birahi kem­bali ke perahu pe­tinggi dan pasukan Mela­ka pun kembali ke keraja­an. Demikianjuga halnya pasukan Portugis kembali ke Manila karena banyak pe­mim­pinnya yangterluka. Peperangan ber­akhir tanpa ada yang menang ataupun yang kalah. Setelahsembuh, Hang Tuah tidak lagi men­­­­­jabat sebagai Laksamana Melaka kare­na telahsemakin tua. Dia menjalani hidup­nya dengan menyepi di puncak bukit Jugara diMelaka. Baginda Raja juga telah tidak lagi memimpin, Dia diganti­kan olehanaknya, Putri Gunung Ledang. Cerita Putri Kaca Mayang Kota Pekanbaru adalah salah satu Daerah Tingkat II sekaligus sebagai ibukota Provinsi Riau, Indonesia. Sebelum ditemukannya sumber minyak, Pekanbaru hanyalah sebuah kota pelabuhan kecil yang berada di tepi Sungai Siak. Namun, saat ini Pekanbaru telah menjadi kota yang ramai dengan aktifitas perdagangannya. Letaknya yang strategis berada di simpul segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura, menjadikan Kota Pekanbaru sebagai tempat transit persinggahan para wisatawan asing, baik dari Singapura maupun Malaysia, yang hendak berkunjung ke Bukittinggi atau tempat-tempat lain di Sumatera. Keberadaan Kota Pekanbaru yang ramai ini memiliki sejarah dan cerita tersendiri bagi masyarakat Riau. Terdapat dua versi mengenai asal-mula kota ini yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat. Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin kepala dusun. Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi Muara Sungai Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam 1766-1780 M., menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang. Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan pasar di Senapelan, tetapi pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang. Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M., berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar, negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu. Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Mulai saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharu lebih populer disebut dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah daerah ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau. Sementara menurut versi cerita rakyat yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Riau, kerajaan yang berdiri di tepi Sungai Siak itu bernama Gasib. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang bernama Gasib. Konon, Raja Gasib memiliki seorang putri yang cantik jelita, namanya Putri Kaca Mayang. Namun tak seorang raja atau bangsawan yang berani meminang sang Putri, karena mereka segan kepada Raja Gasib yang terkenal memiliki panglima gagah perkasa yang bernama Gimpam. Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan diri meminang sang Putri, namun pinangannya ditolak oleh Raja Gasib. Karena kecewa dan merasa terhina, Raja Aceh berniat membalas dendam. Apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Gasib? Bagaimana nasib sang Putri? Lalu, apa hubungannya cerita ini dengan asal mula Kota Pekanbaru? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Kaca Mayang berikut ini. * * * Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi Sungai Siak berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini sangat terkenal, karena mempunyai seorang panglima yang gagah perkasa dan disegani, Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satu pun kerajaan lain yang dapat menaklukkannya. Selain itu, Kerajaan Gasib juga mempunyai seorang putri yang kecantikannya sudah masyhur sampai ke berbagai negeri, Putri Kaca Mayang namanya. Meskipun demikian, tak seorang raja pun yang berani meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima Gimpam yang gagah berani itu. Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan dirinya meminang Putri Kaca Mayang. Ia pun mengutus dua orang panglimanya untuk menyampaikan maksud pinangannya kepada Raja Gasib. Sesampainya di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Aceh. Maksud kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan raja kami,” lapor seorang utusan. “Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda yang bernama Putri Kaca Mayang,” tambah utusan yang satunya. “Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kami kepada raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa. Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan tentang penolakan Raja Gasib. Raja Aceh sangat kecewa dan merasa terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan berniat untuk menyerang Kerajaan Gasib. Sementara itu, Raja Gasib telah mempersiapkan pasukan perang kerajaan untuk menghadapi serangan yang mungkin terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh yang angkuh itu. Panglima Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar Sungai Siak. Rupanya segala persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan lain untuk masuk ke negeri Gasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan. “Hai, orang muda! Apakah kamu penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib. “Benar, Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu, tunjukkan kepada kami jalan darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu. Karena mengetahui pasukan yang dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang negeri Gasib, pemuda itu menolak untuk menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib. Ia tidak ingin menghianati negerinya. “Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tidak tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga babak belur. Karena tidak tahan dengan siksaan yang diterimanya, pemuda itu terpaksa memberi petunjuk jalan darat menuju ke arah Gasib. Berkat petunjuk pemuda itu, maka sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan anak buahnya. Pada saat prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja Gasib yang sedang bercengkerama dengan keluarga istana tidak mengetahui jika musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah untuk melawan sudah terlambat. Semua pengawal yang tidak sempat mengadakan perlawanan telah tewas di ujung rencong senjata khas Aceh prajurit Aceh. Dalam sekejap, istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu dibantai oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Mayang yang cantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari. Panglima Gimpam yang mendapat laporan bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat marah dan bersumpah untuk membalas kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali Putri Kaca Mayang ke istana. Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh untuk menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailah Panglima Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar untuk menghadang Panglima Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan itu ke istana untuk diserahkan kepada Raja Aceh. Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat keberanian dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk dibawa kembali ke istana Gasib. Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Mayang yang sedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin parah. Angin yang begitu kencang membuat sang Putri susah untuk bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam untuk berhenti sejenak. “Panglima! Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini. Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada keluargaku di istina Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat Panglima Gimpam berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil membawa sang Putri ke istana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka yang mendalam, Panglima Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Mayang ke hadapan Raja Gasib. Sesampainya di istana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam yang membawa jenazah sang Putri itu disambut oleh keluarga istana dengan perasaan sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin hari kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan bayangan putri yang amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk meninggalkan istana dan menyepi ke Gunung Ledang, Malaka. Untuk sementara waktu, pemerintahan kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima Gimpam pun berniat untuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya yang setia, membuat Panglima Gimpam tidak ingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Ia pun tidak mau mengambil milik orang lain walaupun kesempatan itu ada di depannya. Akhirnya, atas kehendaknya sendiri, Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan baru, yang dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama itu dipakai untuk menyebut nama ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota Pekanbaru. * * * Cerita rakyat di atas tidak hanya mengandung nilai-nilai sejarah, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai moral tersebut adalah sifat setia dan tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kedua sifat tersebut tercermin pada sifat Panglima Gimpam. Kesetiaan Panglima Gimpam ditunjukkan pada sifatnya yang tidak mau bersenang-senang di atas penderitaan rajanya, Raja Gasib. Ia tidak mau menikmati segala kesenangan dan kemewahan yang ada dalam istana, sementara rajanya hidup menderita dan dirundung perasaan sedih, karena ditinggal mati oleh putri tercintanya. Di samping itu, Panglima Gimpam juga merasa bahwa ia tidak berhak untuk menikmati segala kemewahan itu, karena bukan hak miliknya. Dalam kehidupan orang Melayu, hak dan milik, baik dimiliki pribadi, masyarakat, atau penguasa sangatlah dijunjung tinggi. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “yang hak berpunya, yang milik bertuan.” Dalam ungkapan adat juga disebutkan, “hak orang kita pandang, milik orang kita kenang, pusaka orang kita sandang,” yang maksudnya adalah hak dan milik orang wajib dipandang, dikenang, dipelihara, dihormati, dan dijunjung tinggi. Merampas dan menguasai hak milik orang secara tidak halal atau tidak sah, oleh orang tua-tua Melayu dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan diyakini akan dilaknat oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan ungkapan adat Melayu yang mengatakan apa tanda orang terkutuk,mengambil milik orang lain ia kemaruk apa tanda orang celaka,mengambil hak orang lain semena-mena Orang tua-tua Melayu juga senantiasa mengingatkan kepada anak kemenakan ataupun anggota masyarakatnya, agar tidak menuruti hawa nafsu, menjauhkan sifat loba dan tamak terhadap harta. Kalaupun memiliki harta benda, hendaknya dipelihara dengan baik dan benar supaya dapat memberikan manfaat bagi kehidupan di dunia dan di akhirat. Tennas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu” banyak menyebutkan tentang kemuliaan memelihara dan memanfaatkan hak milik, baik dalam bentuk ungkapan, syair, maupun pantun. Dalam bentuk ungkapan di antarnya apa tanda Melayu jati,hak miliknya ia cermatihak milik orang lain ia hormati apa tanda Melayu jati,memanfaatkan hak milik berhati-hati apa tanda Melayu bertuah,hak milik orang ia peliharahak milik diri ia jagahak milik bersama ia bela Dalam untaian syair dikatakan wahai ananda buda berpesan,harta orang engkau haramkanmilik orang engkau peliharakanhak orang engkau muliakan Dalam untaian pantun juga dikatakan buah barangan masak setangkaipatah tangkai jatuh ke tanahharta orang jangan kau pakaisalah memakai masuk pelimbah SM/sas/27/9-07 Sumber * Diringkas dari Puteri Kaca Mayang Asal-Mula Kota Pekanbaru. * Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. * Indonesian Community. Sejarah Berdirinya Kota Pekanbaru. * Anonim. Profil Kabupaten/Kota Kota Pekanbaru Riau. Demikianlah artikel dari mengenai Cerita Rakyat Riau Si Lancang Kuning, Putri Tujuh, Asal Kota Dumai, Pulau Senua, Batu Bantakup, Legenda Puti Mambang Linau, Hang Tuah, Putri Kaca Mayang, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya. Sponsor Carilahsebuah cerita rakyat, lalu tuliskan kembali ke dalam bahasa daerahmu. Pada Pembelajaran 6, kamu akan membacakan tulisanmu ini di depan teman-temanmu. Riau Lancang Kuning, Soleram, Laksmana Raja di Laut. 5. Kepulauan Riau Pak Ngah Belek, Segantang Lada. 6. Jambi Dodoi Si Dodoi, Injit-Injit Semut,

Sejarah Lancang Kuning - Lancang merupakan sebuah kapal dalam ukuran yang berbeda-beda, ada yang kecil maupun yang besar, Adapun masyarakat Riau lebih mengenal dengan istilah Lancang Kuning, Lancang Kuning dikenal masyarakat Riau sebagai lambang kebesaran daerah dimana terdapat sejarah dan cerita yang memawakili Lancang Kuning ini. Lancang Kuning dijadikan lambang dan nyanyi daerah Riau. Lancang merupakan alat transportasi pada zaman dahulu. Adapun kata Kuning merupakan warna kebesaran kerajaan. Konon cerita Lancang Kuning berasal dari sebuah kerajaan yang terdapat di Bukit Batu. Wilayah Kabupaten Bengkalis. Kerajaan ini di perintah oleh raja yang bernama Datuk Laksmana Perkasa Alim dan dibantu dua orang panglima, Panglima Umar dan Panglima Hasan. Panglima Umar merupakan seseorang yang dipercayai oleh Datuk Laksamana. Apapun permasalahan yang terjadi dalam kerajaan, maka Panglima Umar lah yang akan menyelesaikan. Baca Legenda Ombak Tujuh Hantu yang Kian Mendunia Di Sungai Kampar Panglima Umar menyukai seorang gadis, dan ia menyampaikan hasratnya suatu hari kepada Datuk Laksamana untuk menyunting gadis tersebut yang bernama Zubaidah. Permintaan Panglima Umar disambut baik oleh Datuk Laksamana, dan diadakanlah pesta pernikahan yang cukup besar. Namun, ternyata pernikahan ini ada yang tidak menyenangi yaitu Panglima Hasan, disebabkan Panglima Hasan juga menyukai dan mencintai gadis yang sama yaitu Zubaidah, istri sahnya Panglima Umar. Timbul rasa iri dan dengki dalam hati Panglima Hasan, ia mencari cara bagaimana agar Zubaidah dapat dimilikinya, meskipun ia sadar bahwa Zubaidah sudah menjadi istri rekannya sendiri, Panglima Umar, namun nampaknya rasa cinta kepada gadis pujaannya telah membuat mata hati Panglima Hasan tertutup dan tetap ingin melancarkan ide jahatnya dan memiliki Zubaidah. Dengan kebencian dan akal busuk yang dimiliki Panglima Hasan, maka ia menyuruh Domo menyampaikan kepada Datuk Laksamana bahwa ia bermimpi agar Datuk membuat Lancang Kuning untuk mengamankan semua perairan dari lanun, Datuk Laksamana menerima apa yang disampaikan Pawang Domo sehingga Lancang Kuning dikerjakan siang dan malam agar sesegara mungkin selesai dan diluncurkan. Namun, disaat Lancang Kuning hampir selesai tersebar berita bahwa Bathin Sanggoro melarang para nelayan Bukit Batu untuk mencari ikan di Tanjung Jati. Berita ini membuat gelisah Datuk Laksamana dan ia pun memerintahkan panglima kepercayaannya untuk menemui Bathin Sanggono, yaitu Panglima Umar untuk mempertanyakan dan menyelesaikan perkara ini. Sebenarnya Panglima Umar berat hati untuk pergi melaksanakan perintah ini, dikarenakan istrinya Zubaidah tengah mengandung anak pertama dan hamil tua yang sebentar lagi akan melahitkan, namun karena ini tugas yang sangat penting dan menyangkut kerajaan maka Panglima Umar pun pergi melaksanakan perintah Datuk Laksamana, semua perasaan khawatir ia tahan. Setelah berlayar beberapa hari maka sampailah Panglima Umar. Ia menceritakan segalanya pada Bathin Sanggono, terkait berita yang beredar di Bukit Bati. Bathin sanggono pun terkejut dengan perihal yang disampaikan oleh Panglima Umar, karena ia sendiri tidak pernah melarang nelayan Bukit Batu menangkap ikan di Tanjung Jati. Mendengar hal demikian membuat Panglima Umar berfikir panjang, apa gerangan sebenarnya yang terjadi. Bathin Sanggono pun menyarankan agar Panglima Umar menyelidiki asal muasal berita ini, dan ia pun menyelidi kasus ini sewaktu hendak pulang ke Bukit Batu. Ia pun berkeliling mencari siapa yang telah membuat berita bohong ini, tidak terasa sudah hampir satu bulan Panglima Umar melakukan perjalanan. Tepat pada malam purnama, Lancang Kuning akan diluncurkan ke laut. Telah berkumpul rakyat dan pemuka kerajaan untuk menyaksikan peluncuran Langcang Kuning. Berbagai hiburan rakyat dipertunjukkan. Semua penduduk sangat bergembira kecuali Zubaidah karena suaminya Panglima Umar sudah satu bulan pergi dan belum juga kembali, ia memilih tetap di rumah saat acara peluncuran Lancang Kuning diadakan. Semua keperluan peluncuran sudah dipersiapkan dan Pawang Domo memberikan petunjuk kepada Datuk Laksamana. Acara dimulai dengan tepung tawar pada dinding Lancang Kuning, kemudian dilanjutkan oleh Panglima Hasan dan pemuka masyarakat lainnya. Setelah itu dilanjutkan dengan pengasapan dan baru lah semua yang hadir diminta supaya berdiri disamping Lancang Kuning dan semua bunyi-bunyian dibunyikan, semua telah memegang Lancang Kuning untuk siap didorong ke laut namun sangat aneh Lancang Kuning tidak bisa bergerak sedikitpun meskipun sudah dilakukan berulang-ulang dan juga sudah menambah kekuatan. Namun, Lancang Kuning tetap saja tidak bisa bergerak. Semua yang hadir bertanya-tanya dan keheranan. Pawang Domo mengatakan kepada Datuk Laksamana bahwasanya, Jika ingin meluncurkan Lancang Kuning maka harus ada yang dikorbankan. Untuk korban tersebut pawang Domo mengatakan diperlukan perempuan hamil sulung. Mendengar penjelasan Pawang Domo, Datuk Laksaman tertunduk dan termenung dan ia pun meminta untuk mengundur pelaksanaan peluncuran Langcang Kuning ke laut. Acara peluncuran itu pun diundur sampai waktu yang tidak bisa ditentukan, kemudian semua pemuka masyarakat dan rakyat pulang ke rumah masing-masing. Pada saat itu Panglima Hasan mengambil kesempatan menghampiri Zubaidah, istri Panglima Umar hendak merayunya agar mau menjadi istrinya. Namun, Zubaidah menolak keinginan Panglima Hasan, karena ia tidak ingin mengkhinati suaminya dan juga Zubaidah tidak suka dengan Panglima Hasan. Karena merasa ditolak keinginannya oleh Zubaidah maka Panglima Hasan merasa harga dirinya dipermalukan. Kemarahannya pun telah menguasai dirinya. Dengan bantuan pengawalnya Panglima Hasan membawa Zubaidah ke tepi laut tempat keberadaan Lancang Kuning. Setelah sampai, Panglima Hasan mendorong tubuh Zubaidah kebawah Lancang Kuning dan saat itu juga ia memerintah pengawalnya untuk mendorong Lancang Kuning. Hanya didorong oleh beberapa orang saja Lancang Kuning meluncur dengan mulus. Darah Segar mengalir dan berserakan di tanah, turun hujan lebat dan petir, angin pun kencang dan saat itu juga Panglima Umar telah pulang dari perjalanannya. Panglima Umar langsung ke rumahnya mencari istri dan anaknya yang telah ditinggalkan. Tidak didapatinya Zubaidah di rumah, ia mulai gelisah. Ia berangkat ke pelabuhan, di tengah perjalanan ia berjumpa dengan Panglima Hasan, Panglima Umar pun menanyakan gerangan istrinya kepada Panglima Hasan. Panglima Hasan menceritakan bahwa Zubaidah telah dijadikan oleh Datuk Laksamana untuk meluncurkan Lancang Kuning. Mendengar cerita dari Panglima Hasan, Panglima Umar langsung pergi ke tempat Lancang Kuning diluncurkan, ia mendapati istrinya telah tiada dengan tubuh bersimbah darah. Hatinya sangat pilu diusapkannya darah yang ada di tanah ke wajahnya, dan ia bersumpah akan membalas dendam ini, ia bersumpah akan membunuh orang yang telah membunuh istrinya. Belum lama ia berjalan, terlihat Datuk Laksamana menghampirinya. Panglima Umar langsung menyerang Datuk Laksama dengan pedang yang panjang, mengenai perut Datuk Laksamana, tanpa ada pembicaraan sedikit pun. Datuk Laksaman mati di tangan Panglima Umar, saat itu Pawang Domo datang dan menceritakan segala kejadian yang sebenarnya, bahwa Panglima Hasan lah yang menjadikan Zubaidah gilingan Lancang Kuning, tanpa pikir panjang lagi, Panglima Umar mencari Panglima Hasan. Panglima Hasan sudah bersiap-siap hendak melarikan diri menuju Lancang Kuning, namun hal itu tampak oleh Panglima Umar, belum sempat melepaskan talinya, Panglima Umar telah sampai dengan pedang yang ada di tangannya. Mereka berkelahi di atas Lancang Kuning dan akhirnya Panglima Hasan mati ditikam Panglima Umar dan jatuh ke laut. Setelah kejadian itu, Panglima Umar pun mengatakan kepada orang-orang yang ada di pantai, bahwa ia yang telah membunuh Datuk Laksamana karena perbuatan Panglima Hasan dan Panglima Hasan pun telah mati dibunuhnya, karena hal itu maka ia akan pergi dengan Lancang Kuning untuk selama-lamanya. Sampailah di Tanjung Jati Lancang Kuning berlayar, ombak besar dan angin topan datang menghantam Panglima Umar dan Lancang Kuning. Ia bersama Lancang Kuning karam ke dalam laut Tanjung Jati. hyAzn Dari berbagai Sumber

APLIKASICERITA RAKYAT LANCANG KUNING PROVINSI RIAU DENGAN AUGMENTED REALITY ABSTRACT Riau Province has many folktales in the form of fairy tales, legends, myths. The story used to flourish in people's lives. Parents, youth and children use folktales in various situations in life. As the largest province on the island of Sumatra, Riau
BATAM, - Lancang Kuning dikenal masyarakat Riau sebagai lambang kebesaran daerah. Di mana, terdapat sejarah dan cerita yang mewakili Lancang Kuning ini. Lancang Kuning dijadikan lambang dan nyanyi daerah Riau. Lancang merupakan alat transportasi pada zaman dahulu. Adapun kata Kuning merupakan warna kebesaran kerajaan. Konon cerita Lancang Kuning, berasal dari sebuah kerajaan yang terdapat di Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Kerajaan ini diperintah oleh raja, yang bernama Datuk Laksmana. Datuk Laksmana memiliki dua orang panglima hebat, yakni Panglima Umar dan Panglima Hasan. Panglima Umar, yang merupakan seseorang yang dipercayai oleh Datuk Laksamana. Apapun permasalahan yang terjadi dalam kerajaan, maka Panglima Umar lah yang akan menyelesaikan. Suatu waktu, Panglima Umar menyukai seorang gadis, dan ia menyampaikan hasratnya kepada Datuk Laksamana, untuk menyunting gadis yang bernama Zubaidah. Permintaan Panglima Umar disambut baik oleh Datuk Laksamana, dan diadakanlah pesta pernikahan yang cukup besar. Namun, ternyata pernikahan ini tidak disukai oleh Panglima Hasan, karena ia juga mencintai Zubaidah. Ia pun bertekad untuk merebut Zubaidah dari Panglima Umar. Dengan kebencian dan akal busuk yang dimiliki Panglima Hasan. Dia menyuruh Domo menyampaikan kepada Datuk Laksamana, bahwa ia bermimpi agar Datuk membuat Lancang Kuning untuk mengamankan semua perairan dari lanun. Datuk Laksamana menerima apa yang disampaikan Pawang Domo, sehingga Lancang Kuning dikerjakan siang dan malam agar sesegara mungkin selesai dan diluncurkan. Namun, di saat Lancang Kuning hampir selesai, tersebar berita bahwa Bathin Sanggoro melarang para nelayan Bukit Batu untuk mencari ikan di Tanjung Jati. Datuk Laksmana akhirnya mengutus Panglima Umar, untuk menemui Bathin Sanggoro, meski sang istri, Zubaidah sedang hamil tua dan akan segera melahirkan. Faktanya, Bathin Sanggono pun terkejut, karena ia sendiri tidak pernah melarang nelayan Bukit Batu menangkap ikan di Tanjung Jati. Tepat pada malam purnama, Lancang Kuning akan diluncurkan ke laut. Rakyat dan pemuka kerajaan berkumpul untuk menyaksikan peluncuran Langcang Kuning. Berbagai hiburan rakyat dipertunjukkan. Namun, di saat semua telah memegang Lancang Kuning, untuk siap didorong ke laut. Anehnya, Lancang Kuning tidak bisa bergerak sedikit pun, meskipun sudah dilakukan berulang-ulang dan juga sudah menambah kekuatan. Pawang Domo mengatakan kepada Datuk Laksamana, jika ingin meluncurkan Lancang Kuning maka harus ada yang dikorbankan, yakni perempuan hamil anak pertama. Laksaman tertunduk, dan meminta untuk mengundur pelaksanaan peluncuran Langcang Kuning ke laut. Acara peluncuran itu pun diundur sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Ketika mendapat kesempatan, Panglima Hasan menghampiri Zubaidah, istri Panglima Umar hendak merayunya agar mau menjadi istrinya. Namun, Zubaidah menolak keinginan Panglima Hasan, karena ia tidak ingin mengkhinati suaminya dan Zubaidah sendiri tidak menyukai Panglima Hasan. Karena penolakan itu, Panglima Hasan, merasa harga dirinya dipermalukan. Kemarahannya pun telah menguasai dirinya. Lancang Kuning Dengan bantuan pengawalnya Panglima Hasan membawa Zubaidah ke tepi laut tempat keberadaan Lancang Kuning. Setelah sampai, Panglima Hasan mendorong tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning. Dan saat itu juga, ia memerintah pengawalnya untuk mendorong Lancang Kuning. Hanya didorong oleh beberapa orang saja Lancang Kuning meluncur dengan mulus. Darah Segar mengalir dan berserakan di tanah, turun hujan lebat dan petir, angin pun kencang. Panglima Umar yang baru saja pulang, mendapat kabar dari Panglima Hasan bahwa Zubaidah telah dijadikan persembahan untuk meluncurkan Lancang Kuning. Ia memfitnah Datuk Laksmana yang melakukan perbuatan keji itu. Panglima Umar yang gelap mata, langsung menyerang Datuk Laksama dengan pedang yang panjang. Datuk Laksaman pun mati di tangan Panglima Umar. Pawang Domo yang mengetahui kejadian yang sebenarnya, tanpa pikir panjang lagi, Panglima Umar mencari Panglima Hasan. Panglima Hasan sudah bersiap-siap hendak melarikan diri menuju Lancang Kuning. Mereka berkelahi di atas Lancang Kuning dan akhirnya Panglima Hasan mati ditikam Panglima Umar dan jatuh ke laut. Panglima Umar pun berlayar dengan Lancang Kuning, ombak besar dan angin topan datang menghantam dan akhirnya karam ke dalam laut Tanjung Jati.
Termasuklagu cinta, lagu ini mengisahkan tentang sepasang kekasih yang memiliki banyak kesamaan dengan satu sama lain. Lagu "Alosi Ripolo Dua" sangat populer di telinga masyarakat Sulawesi Selatan. Baca juga: Lirik dan Chord Lagu Daerah Riau, Lancang Kuning. Berikut lirik dan chord lagu "Alosi Ripolo Dua" dari Ifah Zenab Alwi.

Pekanbaru - Lancang Kuning berlayar malam. Haluan menuju ke lautan dalam. Kalau nahkoda kuranglah paham. Alamat kapal akan tenggelam. Lancang kuning menentang badai. Tali kemudi berpilit tiga. Pantun tersebut sangat populer di Riau, khususnya masyarakat Melayu. Filosofi dari baitnya mengisahkan bagaimana pemimpin nakhoda mengarungi lautan agar kapal lancang yang digambarkan sebagai pemerintahan tak karam. Menhub Ungkap Perintah Jokowi soal Angkutan Umum di Riau, Apa Itu? Mengenal Sosok Putri Ariani, Penyanyi Tunanetra 17 Tahun Asal Riau yang Hebohkan Dunia dengan Aksinya di America's Got Talent 2023 Kisruh Setoran Rp650 Juta Brimob Polda Riau, Polri Kalau Ada, Berhadapan dengan Hukum Hingga kini tak diketahui pencipta pantun itu. Namun, Lancang Kuning tetap abadi karena disematkan sebagai sebutan untuk Riau. Begitu mendengar kata Lancang Kuning orang tertuju ke daerah yang berada di timur Pulau Sumatra itu. Tak diketahui pasti sejak kapan Riau disebut sebagai negeri atau bumi Lancang Kuning. Tak disebut pula siapa orang pertama yang memberi gelar ke daerah yang dulunya ada kerajaan Melayu penguasa Selat Malaka ini. Mendiang budayawan Riau, Tenas Effendy, dalam sebuah tulisannya berjudul Lancang Kuning pernah menyinggung kenapa Riau diberi gelar dengan sebutan itu. Dia menyebut sebutan ini sebagai tanda kegemilangan Riau sebagai daerah. Menurut Tenas, Lancang berarti kapal besar yang biasa digunakan raja-raja mengarungi lautan. Kapal ini juga tanda komando armada perang di lautan yang dikendalikan laksamana ataupun raja. Sementara Kuning sendiri merupakan warna kebesaran dalam tradisi Melayu. Kuning selalu ditemukan dalam berbagai upacara, pakaian, riasan dan baju kebesaran petinggi adat, meski dipadu dengan warna lain. Lancang atau kapal sangat akrab dengan masyarakat rumpun Melayu. Dengan ragam kerajaannya, misalnya Lingga di Kepulauan Riau atau Siak serta Indragiri di Riau, rumpun Melayu membentang dari laut China hingga Selat Malaka. Lancang ini disebut sebagai pemersatu antar pulau-pulau dalam bentangan rumpun Melayu. Lancang juga mempermudah raja berpindah ke suatu daerah yang menjadi kekuasaannya. Dengan demikian, Lancang Kuning menandakan Riau sebagai kerajaan Melayu sangat mengusai maritim. Di sisi lain, Lancang Kuning juga menggambarkan kejelian pemimpin dalam memerintah daerah. Makanya dalam pantun itu ada kalimat "berlayar malam, kalau nahkoda kuranglah paham, alamat kapal akan tenggelam". Berlayar pada malam hari tentu saja berbeda dengan siang. Nahkoda pada siang hari berpedoman pada matahari sehingga semua orang bisa melakukannya. Berbeda dengan malam karena nakhoda harus paham arah angin dan membaca bintang. Tidak semua orang bisa membaca bintang. Makanya diperlukan nakhoda lihai untuk membawa kapal besar dalam sebuah lautan yang luas atau pemimpin bijaksana menjalankan pemerintah. Dengan demikian, pemimpin yang paham tentang seluk beluk daerah menjadi syarat mutlak bagi Riau. Berikutnya, sebuah kapal dalam berlayar pasti bertemu badai. Makanya ada kalimat "Lancang kuning menentang badai, tali kemudi berpilit tiga". Kalimat tersebut saling berkaitan. Di mana ada masalah, di situ pula ada cara seorang pemimpin menyelesaikan. Apakah dengan sesuka hati atau melibatkan unsur lain berpilit tiga. Dalam berbagai literatur, pilit tiga dalam Melayu terdiri dari tiga unsur, yaitu umara cerdik pandai atau bisa saja perdana menteri, tetua adat dan terakhir ulama atau orang paham agama. Karena Melayu sarat dengan nilai-nilai Islam, posisi ulama menempati posisi paling atas. Ketiga unsur itu menjadi syarat bagi raja dalam mengambil keputusan ketika menghadapi permasalahan. Pertimbangan ketiga unsur ini kemudian menjadi konstitusi. Menjadi aturan bagi raja dalam menjalankan pemerintahan agar tidak melenceng dan berakibat merugikan rakyat. Makanya dalam pantun yang kemudian digubah menjadi lagu itu, ditambahkan bait "selamatlah kapal menuju pantai, pelautlah pulang dengan gembira".

.
  • 6eribmicv8.pages.dev/198
  • 6eribmicv8.pages.dev/234
  • 6eribmicv8.pages.dev/352
  • 6eribmicv8.pages.dev/343
  • 6eribmicv8.pages.dev/338
  • 6eribmicv8.pages.dev/50
  • 6eribmicv8.pages.dev/149
  • 6eribmicv8.pages.dev/162
  • cerita rakyat riau lancang kuning